Harusnya Kerajinan Jadi Primadona
Kabupaten Cirebon Menghadapi MEA 2015 Bagi masyarakat Kabupaten Cirebon dan sekitarnya, tentu usaha yang dilakukan Nu’aeni dan Dede Supriyatna tergolong awam. Boleh jadi, usaha ini satu-satunya di Kabupaten Cirebon. Baru saja bangkit, para pengusaha kerajinan ini harus berhadapan dengan MEA 2015. Bagaimana persiapan mereka? TRAUMA dengan usaha kerajinan rotan yang sempat membuatnya bangkrut, Nu’aeni berpikir keras agar aset berupa gudang seluas 1.500 meter persegi yang berada di Desa Lurah, Kecamatan Depok tidak berpindah tangan. Suatu waktu, dia bertemu dengan salah satu rekan bisnisnya yang bernama Dede Supriyatna. Dalam pertemuan itu, dibahaslah langkah mengembangkan bisnis yang memang belum dijamah oleh pengusaha lain. “Akhirnya kita pilih memproduksi busa dan membuat kerajinannya,” kata Nu’aeni. Nu’aeni yang memiliki aset berupa lokasi usaha berhasil dipadukan dengan Dede yang memiliki segerombolan tenaga ahli pembuat busa yang dipaksa untuk bermigrasi dari Tangerang ke Cirebon. Hingga akhirnya, usaha pembuatan busa dilakukan pada pertengahan tahun 2014 ini. Kebetulan, rekan-rekan yang dibawa Dede ini sudah ada yang menguasai bisnis busa, sehingga tidak terlalu sulit untuk memasarkannya. “Ketika kita sudah yakin pasar sangat menjanjikan, dengan modal pas-pasan, kita beli alat-alat dan bahan-bahan pembuatan busa,” ujar Dede. Produksi di bulan pertama, omzet yang diraup dari usaha ini sudah mencapai Rp1,2 miliar. Sebuah keuntungan yang fantastis. Kemudian, sampai dengan bulan berikutnya, usaha yang dijalankan ini terbilang lancar walau ada penurunan omzet. “Saat ini pada kisaran Rp900 juta per bulan,” ungkapnya. Yang dijual olah Nu’aeni dan Dede kepada pasar terbagi dua jenis, yakni busa mentah alias yang belum diolah dan busa yang sudah diolah menjadi produk kerajinan. “Untuk kerajinan, kami memproduksi kasur,” bebernya. Harga yang ditawarkan cukup variatif. Untuk busa mentah dengan kualitas kekenyalan biasa dijual Rp440 ribu per kubik. Sementara untuk kualitas kekenyalan busa yang super, bisa diatas Rp1 juta perkubik. Sedangkan untuk produk kerajinan kasur dijual Rp100 ribu sampai dengan Rp1,2 juta per lembar. “Limbahnya pun jadi duit, potongan busa untuk kasur lipat kita garap menjadi kasur tempel dan hancuran dari kasur tempel kita jual lagi dengan harga Rp80 perkilogram. Jadi, dalam usaha ini tidak ada limbah,” terangnya pria berkulit sawo matang ini. Walau baru berjalan lima bulan, wilayah pemasaran yang sudah dijamah oleh kasur busa bermerek Intan Foam ini ternyata cukup luas. Dari mulai Lampung sampai dengan Magelang mereka sudah kuasai. Kecerdikan menangkap peluang pasar adalah jurus jitu yang menjadikan usaha yang tengah digeluti Nu’aeni dan Dede ini langsung moncer. “Kita sengaja segmentasinya untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah, sehingga produk kita mudah di terima pasar. Bahkan, dengan kualitas kekenyalan busa yang super, harga jual kasurnya masih bisa terjangkau dan garansi 10 tahun,” ucapnya. Untuk pembuatan desain, Dede mengatakan tergantung dari permintaan distributor. Desain selama ini mengikuti arus pasar agar mudah diterima masyarakat. TAK GENTAR HADAPI MEA Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), ke depan akan menjadi tantangan tersendiri bagi usaha yang dijalani dua sohib ini. Namun, Dede tidak gentar, karena produk yang dihasilkan bisa bersaing dengan produk negara lain, mengingat harga yang masih terjangkau, tapi mutu dijamin lebih berkualitas. “Yang lain hanya punya merek, tapi kita punya kualitas dengan harga yang murah,” ungkapnya. Sampai dengan saat ini, usaha yang tengah dijalankan 60 persen masih manual. Karena, diakui usaha ini masih terkendala permodalan. Ada satu tantangan yang sampai saat ini menjadi ganjalan menghadapi era pasar bebas. Bahan baku kimiawi yang digunakan untuk membuat busa didapat dari luar negeri dan harganya fluktuatif, mengikuti nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata uang dolar Amerika. Tentu saja, ini menjadi kelemahan karena produsen sejenis akan lebih diuntungkan terutama yang berdomisili di negara eksportir bahan baku busa. Kendala berikutnya adalah peningkatan kapasitas produksi. Era pasar bebas memungkinkan untuk dilakukannya penetrasi pasar. Masalahnya, setelah upaya pemasaran dan promosi dilakukan, feed back berupa order justru dikhawatirkan tak mampu dipenuhi kapasitas produksi. Dede mengakui, areal produksi yang saat ini sudah terbangun masih harus diperluas. “Terus terang kita masih terkendala modal ya. Banyak yang mau gabung, tapi kita selektif,” pungkasnya. (mohamad junaedi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: