Rizal Ramli Sudutkan Pemerintahan Megawati

Rizal Ramli Sudutkan Pemerintahan Megawati

JAKARTA - Pe­nyelidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kem­bali me­manggil mantan menteri. Kemarin (23/12) giliran Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid. Rizal banyak mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Rizal mengatakan, seharusnya para pemilik bank yang mendapatkan BLBI tetap harus membayar utangnya dengan uang rupiah, bukan dengan aset. “Dengan begitu utang bisa ditagih setiap saat. Tapi kemudian ada yang melobi pemerintah agar utang dibayar aset,” ujarnya. Ironisnya, pemerintah menerima begitu saja aset yang disebut Rizal dengan kalimat busuk. “Aset itu tak sesuai nilainya, tapi seolah-olah dianggap aset itu benar,” katanya. Ketika Rizal menjadi Menko Perekonomian, dia melihat itu sebagai masalah. Dia melihat pemerintah sebelum­nya tak memiliki bargaining yang kuat untuk menagih utang pada para obligor. Rizal mengaku sempat meminta pendapat ahli-ahli hukum untuk membuat kebijakan lebih lanjut. Dia membuat kebijakan semua obligor, terutama yang memiliki beban besar ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) harus menyerahkan personal guarantee note atau jaminan perorangan. Dengan adanya kewajiban menyerahkan personal gua­rantee note itu, Rizal berharap para obligor bertanggung jawab melunasi utang sampai tiga generasinya. “Tujuannya agar seluruh kewajibannya terlunasi,” jelasnya. Rizal mengeluarkan kebijakan itu karena melihat adanya upaya sejumlah konglomerat yang menjadi obligor berupaya lari dari tanggung jawab. Dia mencontohkan obligor yang belum melunasi utang tapi masih kaya raya. Sayangnya, kebijakan Rizal itu berlangsung sesaat seiring pergantian pemerintahan dari Gus Dur ke Megawati. Saat Mega berkuasa, dia justru mengeluarkan Inpres No 8/2002 terkait penerbitan surat keterangan lunas atau SKL. Ada 22 obligor yang menda­patkan SKL. Salah satunya Syamsul Nursalim pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Padahal, tingkat pembayaran utang BDNI paling rendah. Bank itu baru membayar 17,4 persen dari total kewajiban Rp28,4 triliun. Dengan diberikannya SKL kepada Sjamsul, Kejaksaan Agung akhirnya menghentikan penyidikan (surat perintah penghentian penyidikan atau SP3), termasuk terhadap sejumlah pengutang lainnya dalam kasus BLBI. Para obligor dianggap sudah melunasi utangnya, padahal pada kenyataannya utang triliunan rupiah belum dilunasi. Nah, terkait proses hukum BLBI, Rizal juga cemas dengan adanya upaya penarikan penyidik KPK. Dia curiga penyidik yang ditarik ini ialah mereka yang tergolong paham kasus BLBI. “Penarikan-penarikan penyidik KPK belakangan ini bisa jadi permainan tingkat tinggi untuk amankan kasus besar yang sudah terjadi bertahun-tahun,” ujar Rizal. Dia meminta Presiden Joko Widodo bergerak menghentikan hal tersebut. Dia khawatir penyidik yang tengah menangani kasus besar dan sudah mengerti konstruksinya termasuk BLBI akan mengganggu proses penegakan hukum. “Biasanya seperti itu, penyi­dik sudah sangat me­ngerti kasusnya ditarik oleh kejaksaan. Sehingga peng­gantinya butuh belajar lagi. Kalau seperti itu kan pro­sesnya bisa terhenti,” beber­nya. Menurut Rizal, itu sebe­narnya modus-modus lama, karenanya dia Jaksa Agung maupun Kapolri segera meng­hentikan hal tersebut. Dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari dana BLBI Rp144,5 triliun yang dikucurkan untuk 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI, ditemukan adanya penyimpangan Rp54,5 triliun. Sebanyak Rp53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan. (gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: