Proyek Rutilahu Jatiseeng Disoal

Proyek Rutilahu Jatiseeng Disoal

CILEDUG - Pelaksanaan pembangunan rumah tidak layak huni (rutilahu) yang sedang dilakukan di beberapa kecamatan di Kabupaten Cirebon, diduga bermasalah. Program bantuan Kementerian Perumahan Rakyat RI, itu dianggap sebagian kalangan tidak mengutamakan asas keterbukaan publik. “Pemdes Jatiseeng tidak membeberkan info yang sebenarnya kepada stakeholder yang ada,” kata Wakil Ketua BPD Jatiseeng, Kecamatan Ciledug, Dedy Madjmoe, kepada Radar, kemarin (7/11). Di menduga, pemdes setempat telah melakukan pengondisian untuk suplier bahan bangunan dengan hanya menunjuk satu suplier bangunan saja, sehingga menyebabkan para penerima program bantuan tidak bisa membeli bahan bangunan dari tempat lain. “Telah terjadi monopoli belanja bahan bangunan, sehingga warga yang dapat bantuan rutilahu hanya menerima bahan-bahan bangunan dari satu tempat saja,” imbuhnya. Kuwu Jatiseeng, Soemarno MTH, ketika dikonfirmasi Radar, mengatakan, apa yang disampaikan Dedy adalah tidak benar. Dia bahkan menganggap Dedy tidak memahami me­kanisme pelaksanaan proyek tersebut. “Ini hanya miskomunikasi saja dan tidak perlu ditanggapi serius,” tuturnya. Dia bahkan menantang pihak-pihak terkait yang merasa tidak puas untuk melakukan recheck ke lapangan. “Jika benar terdapat pe­nyelewengan dalam pelaksanaan p­rogram pembangunan ru­tilahu, saya sebagai kuwu siap mempertanggungjawabkan dunia akhirat,” sumpahnya. Soemarno menjelaskan, proses turunnya program pembangunan rutilahu, lanjut dia, sama sekali tidak melalui pemdes, melainkan melalui Baitul Mal wa Tanwil (BMT) Usnul Auliya, yang beralamat di Desa Jatiseeng. “BMT inilah yang mem­beritahukan kepada empat desa tersebut soal program rutilahu, dan kami diminta untuk mengajukan warganya yang akan diberi bantuan. Kemudian, di cek langsung oleh tim pengawas nama-nama yang diajukan tersebut, apakah layak atau tidak untuk diberi bantuan tersebut,” jelasnya. Soal bahan bangunan, dia menjelaskan, yang menunjuk suplier material bukanlah pemdes, tapi langsung oleh BMT tersebut. “Pemdes tahu beres saja, karena yang menunjuk suplier adalah BMT-nya langsung agar tidak terjadi penyalahgunaan uang. Maka, si penerima bantuan hanya menerima material yang sudah disesuaikan dengan anggaran yang ditetapkan oleh si pemberi bantuan. Jadi, kalau ada tuduhan monopoli, dari mana jalurnya,” terangnya. Data koran ini, bantuan rutilahu di wilayah tersebut baru 10 unit rumah dengan nilai Rp10 juta/unit. Sedangkan untuk peningkatan kualitas sebanyak 25 unit rumah dengan nilai proyek Rp5 juta/unit. Teknis pelaksanaannya, hingga saat ini seluruh proyek sudah berjalan 85 persen, padahal dana yang baru dikucurkan dari BMT tersebut baru 50 persen. (jun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: