Sarankan Honorer Tua Daftar PPPK

Sarankan Honorer Tua Daftar PPPK

JAKARTA- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi menemui perwakilan dari Forum Honorer Kategori Dua Indonesia (FHK2I) di ruang kerjanya. Khusus mengenai honorer kategori dua (K2) berusia di atas 35 tahun, Yuddy meminta, jangan berharap banyak menjadi CPNS. Pasalnya, dalam aturan UU Aparatur Sipil Negara (ASN) usia CPNS dibatasi maksimal 35 tahun. “Saya sarankan honorer K2 yang usianya sudah di atas 35 tahun lebih baik masuk dalam Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi di Jakarta, Jumat (16/1). Sementara bagi honorer K2 yang usianya masih di bawah 32 tahun bisa mengikuti proses seleksi CPNS. Dia meminta agar nama-nama honorer K2 yang masih masuk kualifikasi sebagai PNS segera diserahkan, sehingga bisa diprioritaskan saat proses seleksi. “Jangan menolak untuk dimasukkan ke PPPK. Karena prinsipnya PPPK dan PNS itu sama-sama pegawai ASN. Bedanya tipis sekali kok, hanya P3K tidak ada pensiunnya saja,” ujarnya. Untuk menyiasatinya, para PPPK bisa menyicil sendiri dana pensiunnya per bulan. Selain tidak ada dana pensiun, PPPK hanya menduduki jabatan fungsional. Sedangkan PNS menduduki jabatan struktural. Yuddy menyatakan akan membantu penyelesaian masalah honorer K2 dengan membuat sejumlah rumusan terkait masalah ini. Dikatakan Yuddy, pada prinsipnya pemerintah pusat tidak pernah menerbitkan kewenangan oleh instansi penyelenggara pemerintah untuk mengangkat pegawai honorer menjadi PNS. Dia menjelaskan, PNS diangkat berdasarkan proses rekrutmen. “Kenapa muncul K1 dan K2 Ini muncul saat bupati dan kepala daerah mulai dipilih langsung. Banyak pejabat di daerah yang tidak berasal dari pejabat pemerintahan. Saat itu mereka canggung, siapa yang melayani mereka dan siapa yang bisa mereka percaya. Karena hal itulah mereka akhirnya merekrut saudara mereka yang bisa dipercaya untuk menjadi honorer dan itu terus berkembang jumlahnya menjadi banyak,” beber Yuddy. Saat itu, lanjut Yuddy, pemerintah daerah akhirnya kehabisan anggaran untuk membayar gaji pegawai honorer, sementara para pegawai itu tidak secara resmi terdaftar sebagai pegawai pemerintah. Kemudian dikeluarkan PP No 48 Tahun 2005 yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi honorer K1. Namun, masih ada sejumlah oknum Kepala Daerah yang melakukan kecurangan. Akhirnya diterbitkan PP No 56 Tahun 2011 yang melarang merekrut tenaga honorer. “Saya mempelajari kenapa PP-nya seperti itu karena pemerintah sudah melampaui batas normal aman biaya anggaran pegawai. Ada 41 persen anggaran yang dikeluarkan untuk biaya pegawai,” kata Yuddy. (esy/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: