Lanjutkan Eksekusi 58 Terpidana Mati
Kejaksaan Agung Ingin Melakukan Eksekusi Tiap Bulan JAKARTA- Eksekusi enam terpidana mati yang dilakukan kemarin (18/1) hanya sebuah awalan. Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan akan melanjutkan eksekusi pada 58 terpidana mati yang telah ditolak grasinya oleh Presiden Jokowi. Tak tanggung-tanggung, rencananya eksekusi mati akan dilakukan setiap bulan. Kemarin (18/1) Jaksa Agung HM Prasetyo menggelar konferensi pers soal pelaksanaan eksekusi mati yang telah dilakukan. Dia menuturkan bahwa untuk 58 terpidana mati yang telah ditolak grasinya, sekarang menjadi tugas Kejagung untuk mencermatinya. “Dan, Saya pastikan secepatnya eksekusi akan dilakukan,” paparnya. Ada sejumlah kriteria yang akan menjadi pertimbangan terpidana mati mana yang akan dieksekusi. Diantaranya, proses hukum yang telah selesai dan masalah sosialnya juga telah selesai. “Semua itu akan menjadi pertimbangan dan tentunya nanti akan diumumkan semuanya,” tegasnya. Saat ditanya siapa saja terpidana mati yang masuk daftar eksekusi gelombang dua? Dia masih belum bisa menyebutkan. Hal itu dikarenakan Kejagung harus menghormati proses hukum yang berlaku. “Mungkin grasinya telah ditolak, tapi narapidana belum tentu sudah mengetahuinya. jadi, tidak bisa disebut dulu,” terangnya. Namun, sebelumnya Kejagung telah membocorkan dua nama yang akan masuk daftar eksekusi mati gelombang dua. Yakni, terpidana kasus Bali Nine. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Sesuai informasi yang diterima Jawa Pos (Radar Cirebon Group) ternyata eksekusi mati terhadap 58 terpidana mati yang tersisa akan dilakukan setiap bulan. Hal tersebut tentu mencengangkan karena bisa jadi semua terpidana mati akan habis dalam setahun ini. Dikonfirmasi terkait hal tersebut, Prasetyo tetap bungkam. “Yang jelas, semua akan dieksekusi,” tuturnya. Eksekusi mati ini, lanjut dia, bukan sebuah kebahagiaan, namun merupakan keprihatinan. Tapi, eksekusi tersebut juga merupakan sinyal untuk semua pihak bahwa Pemerintah sangat tegas dalam memerangi kejahatan luar biasa, peredaran narkotika. “Kami berharap setiap keluarga di Indonesia ikut dalam upaya menghentikan peredaran narkotika. Generasi muda terlalu berharga untuk dirusak oleh narkotika,” tuturnya. Kendati begitu, Kejagung memastikan sisi kemanusiaan tetap dijunjung tinggi. Semua permintaan terakhir dari terpidana mati. “Permintaan tiga terpidana mati untuk dikremasi dan tiga lainnya di kuburkan juga dikabulkan,” paparnya. Tidak sekadar mengeksekusi mati terpidana mati kasus narkotika, Kejagung memiliki rencana untuk mengenakan undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada pengedar narkotikan. Prasetyo mengatakan, kemungkinan menggunakan TPPU untuk pengedar itu sedang diupayakan. “Kami akan menggandeng PPATK untuk bisa menerapkan TPPU tersebut,” paparnya. Nantinya, semua kasus narkotika akan dicek, apakab bisa menerapkan TPPU tersebut. Kalau memang ada yang memenuhi kriteria TPPU, tentu Kejagung tidak akan mundur. “Kami akan berusaha sekuat tenaga,” tutur Prasetyo. Sementara langkah tegas pemerintah itu mendapatkan dukungan dari beberapa kalangan. Salah satunya adalah Hikmahanto Juwanan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI). Menurut Hikmahanto, Presiden Joko Widodo tidak perlu risau dengan kritikan negara lain. Sebab apa yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan konstitusi. Dia mengatakan ada lima alasan mengapa pemerintah tidak perlu ragu dengan keputusan hukuman mati tersebut. Pertama yaitu negara yang memprotes kebijakan itu merupakan negara yang warga negaranya dieksekusi mati. Menurut dia, hal itu wajar, karena setiap negara wajb melindungi warganya. “Hal itu juga akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia jika ada warganya yang berurusan dengan hukum di luar negeri,” terangnya. Poin yang kedua yakni, beberapa negara yang memprotes itu merupakan negara yang tergabung di dalam Uni Eropa. Mereka ingin menyebarkan keyakinan yang mereka anut. “Uni Eropa saat ini mencoba melobi negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Mereka mempunyai kepentingan menghapus hukuman itu,” jelasnya. Alasan yang lain yaitu hukuman mati tidak sesuai dengan peradaban suatu masyarakat. Hikmahanto mengaku alasan itu tidak menjadi landasan pembatalan hukuman mati. Pasalnya sampai kini sejumlah negara termasuk Amerika serikat masih memberlakukan hukuman mati. Dan itu, kata dia tidak terkait dengan peradaban masyarakat. Poin yang ke empat yakni hukuman mati merupakan wujud dari kedaulatan dan penegakan hukum suatu negara. Sepanjang proses hukumnya tidak melanggar aturan, hukuman mati tetap harus dilanjutkan. “Sehingga, jika ada negara lain yang mencampuri keputusan pemerintah itu merupakan bentuk intervensi,” ucapnya. Kontrioversi hukuman mati tidak hanya diprotes oleh negara lain. Di dalam negeri, tidak sedikit sejumlah LSM yang menolak kebijakan menghabisi nyawa orang itu. Pria asli Jakarta itu mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Hikmahanto meminta pemerintah untuk terus melanjutkan hukuman mati. Mengingat dari data BNN ada 66 terpidana mati yang menunggu giliran untuk dieksekusi. “Pemerintah harus konsisten,” ujarnya. (idr/aph/bay)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: