Dukung Penutupan PT Freeport

Dukung Penutupan PT Freeport

DPD Minta Pemerintah Tinjau Kembali Perpanjangan Kontrak JAKARTA - Komite II DPD RI menilai perpanjangan kontrak PT Freeport jelas-jelas telah melanggar UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. Alasannya perpanjangan itu dilakukan tanpa melalui musyawarah dengan rakyat Papua dan juga tidak dikonsultasikan dengan DPD dan DPR RI, yang berarti dengan perpanjangan ini tidak ada keseriusan pemerintah untuk membangun dan menyejahterakan rakyat Papua. “Untuk itu DPD RI mendukung 100 persen PT Freeport ditutup. Ini karena gak ada keseriusan pemerintah untuk membangun dan menyejahterakan rakyat Papua terbukti dengan perpanjangan kontrak PT Freeport, termasuk rencana pembangunan smelter di Gresik Jawa Timur, bukannya membangun smelter di Papua,” kata anggota Komite II DPD RI dari Messakh Mirin di gedung DPD RI, Rabu (28/1). Messakh yang senator dari Papua ini menambahkan, kalau saja perpanjangan kontrak Freeport itu dibicarakan dengan rakyat Papua, termasuk soal smelter di Papua. Maka akan terbuka jalan bagi lapangan kerja rakyat Papua, sekaligus menyejahterakan rakyat Papua. Menurut Messakh, dirinya bersama anggota lain di Komite II DPD RI seperti Ketua Komite I DPD RI Parlindungan Purba (senator Sumut) dan anggota Ahmad Nawardi (senator Jatim), Aceng AM Fikri (senator Jabar), Bahar Ngitung (senator Sulsel), dan Pendeta Sumaremare dari Papua secara resmi menolak perpanjangan kontrak PT Freeport dan rencana pembangunan smelter di Gresik. “Kemiskinan di Papua mencapai 31 persen dari total penduduk, sehingga sangat ironis kalau perpanjangan kontrak PT Freeport dan smelter tak ada keberpihakannya pada rakyat Papua. Nah Presiden Jokowi harus menghentikan PT. Freeport sebelum rakyat Papua bergerak sendiri untuk menghentikannya,” tegas Messakh. Sedangkan Parlindungan Purba yang bersama Messakh mengatakan selama ini PT Freeport tidak ada pernah serius membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sebagaimana yang telah disepakati dalam MoU dengan pemerintah. “Padahal dengan kesepakatan tanggal 24 Januari 2015 yang lalu, PT. Freeport Indonesia terbukti tidak menunjukkan kesungguhannya dalam membangun smelter,” lontarnya. Parlindungan menilai pemerintah terlalu lunak dengan memberi waktu lagi pada Freeport selama enam tahun untuk mengekspor hasil tambang. Padahal izin perpanjangan enam tahun itu jelas bertentangan dengan pasal 103 dan 170 UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba dan PP No 1 tahun 2014. “Karena itu Komite II DPD RI meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali kontrak karya dengan Freeport tersebut,” tegas Parlindungan. Selain itu, kata Parlindungan pihaknya juga mendesak PT Freeport untuk mengalihkan rencana pembangunan smelter tersebut dari Gresik ke Papua. Dengan membangun smelter di Papua menurut Parlindungan, maka smelter akan lebih strategis dan efisien, banyak manfaatnya bagi warga sekitar, termasuk membuka lapangan kerja. Selain itu secara ekonomi akan menggerakkan sektor perdagangan rakyat Papua. “Muaranya itu sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di Papua,” pungkas Parlindungan. (ind)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: