Perjelas Surat Pelimpahan Tugas dan Wewenang

Perjelas Surat Pelimpahan Tugas dan Wewenang

SURAT pelimpahan tugas dan wewenang dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sudah diberikan kepada Wawali Nasrudin Azis. Ini dilakukan atas kondisi Wali Kota Ano Sutrisno yang hingga kini masih menjalani perawatan medis di rumah sakit. Namun demikian, tetap perlu kehati-hatian. Pendapat ini disampaikan akademisi Unswagati, Sigit Gunawan SH MH. Dia mengatakan, peran wawali harus diperjelas. Jika dalam pelaksanaan keseharian, sambung Sigit, boleh-boleh saja roda pemerintahan diberikan ke Azis agar tidak ada kevakuman. Akan tetapi jika dalam hal tertentu yang berkaitan dengan kewenangan melekat dari seorang kepala daerah, maka harus ada pelimpahan kewenangan dari Kemendagri. “Tapi kalau dianggap cukup surat tugas dari gubernur, apakah sudah dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan,” tandasnya. Dia juga menyinggung soal berapa lama surat tugas dan wewenang itu berlaku. “Jangan sampai pelimpahan itu tidak ada batas waktu. Ini perlu kiranya ada batasan waktu dan lebih baik juga disesuaikan dengan UU Pemda itu sendiri. Untuk itu kiranya ini harus ada kejelasan dan kepastian hukum,” bebernya. Karenanya, dia menyarankan pihak-pihak yang terkait seperti eksekutif dan legislatif agar segera duduk bersama. “Jangan sampai ada sandra menyandera terhadap data-data yang dibutuhkan. Semua­nya demi  kelanjutan tata peme­rintahhan yang baik di Kota Cirebon. Jangan sampai hanya memegang surat pelimpahan dari gubernur sebagai kartu sakti dan tidak sadar malah akan menjerat pak wakil sendiri,” tegas Sigit lagi. Sedangkan loyalis Wali Kota Ano Sutrisno, Herawan Effendi mengatakan pelimpahan tugas dan wewenang sudah ada aturannya. Dia menjelaskan dalam Pasal 65 ayat (4) UU No 23 /2014 tentang Pemerintahan Daerah, ketika kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud atau berhalangan sementara, maka wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. “Kemudian ayat (5) berbunyi apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan dan tidak ada wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah,” kata Herawan. Masih kata Herawan Effendi, ayat (6) UU No 23 /2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menyebutkan apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, maka sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah. “Dan ayat (7) pasal yang sama berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah,” terangnya. Bahkan pasal 66 ayat (1) huruf C undang-undang yang sama, sambungnya, berbunyi melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara. “Pasal 66 ayat (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah, ‘’ pungkasnya. Sedangkan pengamat hukum administrasi negara Agus Dimyati SH MH mengatakan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 25 menyebutkan tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah terdiri dari beberapa hal. Seperti memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama, serta melaksanakan tugas maupun wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara, tambahnya, dalam pasal 26 ayat (1) menyebutkan tugas dan kewenangan wakil kepala daerah. Di antaranya, membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Aturan UU 32 tahun 2004 masih dipakai, ujar Agus Dimyati, karena UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah belum memiliki Peraturan Pemerintah (PP) yang menjelaskan petunjuk pelaksanan dan teknis. Begitupula dengan Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah, diatur dalam PP Nomor 49 tahun 2008 pasal 132A. Dikatakan pada ayat (1) aturan tersebut, Plt kepala daerah dilarang melakukan mutasi pegawai dan membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya. Kecuali, telah mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri. Artinya, kalau sudah ada persetujuan dari Mendagri, mutasi dapat digelar dan ditandatangani Plt kepala daerah sekalipun. “Kalau mau menggelar mutasi, SK ditandatangani siapa? Kalau Mendagri sudah memberikan persetujuan, tidak masalah. Kalau tidak, bisa rawan gugat dan batal demi hukum,” terangnya kepada Radar, Senin (2/2). Untuk itu, jika pencairan anggaran harus dilakukan dengan melaksanakan mutasi pegawai dulu, Agus Dimyati menyarankan Sekda Kota Cirebon Drs Asep Dedi MSi mendatangi RS Siloam untuk meminta tanda tangan wali kota. Sebab, dalam hukum administrasi negara ada istilah freis ermesen. Artinya, dalam keadaan memaksa terjadinya kekosongan hukum, maka pejabat publik dapat melakukan terobosan kebijakan. “Tinggal datang ke RS Siloam. Kalau tanda tangan ada 20 lembar, dicicil saja. Kasian PNS kalau terlalu lama tidak gajian,” tukasnya. (abd/ysf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: