Di Hadapan Kiai, Curhat soal Kapolri

Di Hadapan Kiai, Curhat soal Kapolri

Jokowi Akui Alami Banyak Tekanan JOGJAKARTA- Alasan kenapa belum juga ada Kapolri definitif mulai terbuka satu persatu. Salah satunya, karena adanya tekanan yang mengarah ke panglima tertinggi, Presiden Jokowi. Hal ini terungkap kala mantan Gubernur DKI Jakarta itu curhat di hadapan kiai, ulama, cendekiawan muslim, dan wakil ormas Islam di penutupan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI di salah satu hotel di Jl Malioboro, Jogjakarta, kemarin (11/2). Jokowi mengakui banyak tekanan atas kisruh KPK dan Polri. Tekanan ini membuat dirinya tak bisa langsung membuat keputusan. “Bertumpukan masalah politik, prosedur hukum dan APBN yang sedang berjalan. Tumpukan-tumpukan (masalah, red) ini harus diurai satu-satu,” katanya. Jokowi pun tak mau terbuka kapan Kapolri definitif ia tetapkan. Dia memilih memberikan isyarat hal tersebut segera rampung. “Segera, segera,” tandasnya, sambil berjalan keluar arena kongres. Suami Iriana ini pun tak mau menjawab soal tekanan yang menimpa dirinya atas pencalonan Kapolri yang tak ada ujung pangkalnya. Jokowi malah balik menanyakan hal tersebut ke awak media yang menanti dirinya.”Kamu ini dapat tekanan-tekanan nggak,” ujarnya. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsudin yang hadir juga di forum itu mengatakan sebaiknya memang Presiden Jokowi tak mempedulikan kepentingan. Presiden harus mementingkan kepentingan masyarakat. “Jadikan kepentingan rakyat nomor satu,” pesan Din. Mengenai pemilihan Kapolri, sambung Din, presiden harus mempertimbangkan aspek emosi masyarakat. Sebab, jika seorang tersangka menjadi Kapolri akan menurunkan wibawa hukum. CARI YANG BISA KENDALIKAN PARA JENDERAL Bertambahnya calon Kapolri usulan Kompolnas menjadi 6 jenderal bintang tiga dinilai karena dibutuhkannya sosok yang mampu mengendalikan para Jenderal. Polemik KPK-Polri dinilai harus diselesaikan Kapolri yang memiliki pamor untuk bisa menundukkan setiap jenderal yang bermanuver. Terutama, Komjen Budi Gunawan (BG) yang mampu membuat kondisi KPK-Polri menjadi begitu rumit. Dua sosok calon Kapolri yang baru saja masuk radar Kompolnas adalah Anang Iskandar dan Suhardi Alius. Keduanya sebelumnya sama sekali tidak masuk daftar calon Kapolri, namun ternyata pada detik-detik akhir nama keduanya mencuat. Pengamat Kepolisian Uni­versitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar mengatakan yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada penambahan dua calon Kapolri. Padahal, sebelumnya hanya ada empat calon. “Ini tentunya ada kriteria yang diinginkan untuk mampu menye­lesaikan semua kon­flik ini. Sama seperti yang diingin­kan Presiden Jokowi,” ujarnya. Kriteria sosok yang mampu menyelesaikan problem KPK-Polri ini tentu mau tidak mau harus memiliki kemampuan untuk bisa mengendalikan setiap jenderal Polri. Salah satunya dengan kebijaksaannya serta kepemimpinannya. “Perlu sosok Kapolri yang benar-benar dihormati semua Jenderal,” ujar purnawirawan polisi tersebut. Apakah calon Kapolri yang paling senior yang mampu mengendalikan pada Jenderal? Dia menuturkan bahwa tidak selalu lebih senior itu bisa mengendalikan setiap rekannya. “Yang pasti sosok seperti itu harus didapatkan,” ujarnya. Hal itu dikarenakan saat ini para jenderal sedang terpecah dan saling mengalahkan. Dia mengatakan, untuk mencari siapa sosok yang berpamor seperti itu, tentu tidak mudah. Namun, ada cara yang bisa dilakukan. “Yakni, menelusuri kembali bagaimana rekam jejak dan prestasinya di setiap tugas yang diembangnya,” terangnya. Data bagaimana kinerja dari setiap calon Kapolri ini tentu ada di Polri. Karena itu, lanjut dia, seharunya Kompolnas tidak hanya mewawancarai setiap calon Kapolri. Namun, mencari data bagaimana kinerja calon Kapolri dari awal bertugas hing­ga menjadi jenderal bintang tiga. “Sebab, saya yakin Kompolnas sebenarnya tidak memiliki rekam jejak kinerja setiap calon Kapolri. Data tersebut tentu lebih valid dari pada sekedar wawancara dengan calon Kapolri,” tegasnya. Sementara itu, setiap Komisioner Kompolnas ternyata memiliki sikap yang berbeda terkait usulan calon Kapolri. Bila Komisioner Kompolnas Hamidah Abdurrahman pada Selasa lalu (10/2) menyebut bahwa calon Kapolri bertambah dua orang, namun kemarin (11/2) Komisioner Kompolnas Edi Hasibuan justru membantahnya. Menurut Edi Hasibuan, hingga saat ini belum ada penambahan jumlah calon Kapolri. Sebab, sebenarnya penambahan usulan Calon Kapolri itu harus mendapatkan istruksi dari Presiden Jokowi. “Mekanismenya, presiden minta ada calon lain. Baru kemudian, Kompolnas mencari dan mengusulkan kembali. Namun, sekarang itu belum ada instruksi tersebut dari presiden,” jelasnya. Dengan begitu, sebenarnya yang paling penting adalah keputusan pelantikan Komjen BG. Alangkah baik, bila Presiden secepatnya memberikan keputusan untuk masalah tersebut. Kondisi mengambang seperti ini, sebenarnya disadari atau tidak tetap Polri yang menjadi korban. Polri menjadi obyek tarik menarik kepentingan politik dari semuanya, baik Presiden Jokowi, petinggi Polri hingga KPK. “Kalau Presiden Jokowi terus menunggu, masalah KPK-Polri akan terus bertambah tingkat kerumitannya,” tuturnya. Buktinya, laporan terhadap pimpinan KPK, penyidik dan semua pegawai Komisi Anti Rasuah tersebut terus mengalir, kendati proses praperadilan sedang berjalan. Posisi menunggu Presiden juga tidak membuat konflik mereda. “Dengan demikian, diharapkan Presiden Jokowi tidak bisa lagi menggantungkan pada praperadilan yang masih berlangsung,” terangnya. Bagian lain, proses sidang praperadilan dengan agenda keterangan saksi dari Kuasa Hukum Budi Gunawan menghadirkan empat saksi ahli. Yakni, Margarito Kamis, Romli Atmasasmita, I Gede Panca Haswana dan Chaerul Huda. Dalam proses sidang ter­sebut terjadi perbedaan penda­pat antara setiap saksi ahli. Misalnya, Romli Atmasasmita menilai pengambilan keputusan KPK bisa dilakukan, walau jumlah pimpinan tidak lengkap. Sebab, UU KPK yang mengatur pengambilan kepu­tusan secara kolektif kolegial itu tidak menjangkau pada fakta yang terjadi pada KPK. “Misalnya, masa waktu Busyro Muqqodas yang habis sebelum empat pimpinan yang lain,” ujarnya. Sementara Margarito Kamis menilai bahwa pimpinan KPK hanya bisa mengambil kepu­tusan bila jumlah pimpinan lengkap. Hal tersebut mengacu pada UU KPK. “Kalau tidak leng­kap tentu tidak sah,” jelasnya. Sedangkan Mensesneg Pratikno mengakui dirinya termasuk yang menemui para komisioner Kompolnas. Nama-nama calon kapolri baru juga diserahkan ke presiden lewat dirinya.” “Sudah dilihatkan ke presiden, tetapi ya sudah presiden bilang ditaruh situ dulu,” kata Pratikno di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin. Karena itu, lanjut dia, presiden juga belum melihat lebih jauh nama-nama calon kapolri baru dan rekomendasi yang telah diajukan kompolnas. “Setahu saya, belum dibaca,” imbuh mantan rektor UGM tersebut. Polemik KPK-Polri terus meng­hangat di tengah ketidakpastian presiden mengambil keputusan soal kapolri. Terakhir, sejumlah penyidik KPK yang menangani kasus BG melaporkan kalau menghadapi sejumlah teror. Disinggung terkait hal itu, Sekretaris Kabinet (Sekkab) Andi Widjajanto menyatakan kalau presiden terus mengikuti perkembangan itu. Bahkan, menurut dia, presiden juga telah melakukan langkah-lang­kah untuk meredam ketega­ngan di dua institusi penegak hukum tersebut. Termasuk, soal laporan teror ke penyidik KPK yang terakhir muncul. Namun demikian, dia tidak membeber lebih lanjut langkah yang dilakukan presiden. “Tidak bisa diceritakan, karena terkait menjaga etika kelembagaan,” kelit Andi. Putra mantan petinggi DPP PDIP (alm) Mayjen (pur) Theo Syafei itu hanya menyatakan kalau presiden terus mengimbau, agar semua pihak menyerahkan semuanya pada proses hukum yang ada. “Sebisa institusi, Polri-KPK tidak melakukan manuver-manuver di luar hukum yang bisa memperkeruh suasana,” imbuhnya. (eri/idr/dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: