Terpidana Mati Mulai Dipindah Bertahap

Terpidana Mati Mulai Dipindah Bertahap

Nusakambangan Kembali Menjadi Tempat Eksekusi JAKARTA- Waktu eksekusi terpidana mati gelombang dua kian dekat. Walau Menkumham Yasonna Laoly sempat menyebut waktu eksekusi ditunda, namun Kejaksaan Agung (Kejagung) justru makin bernafsu untuk menggelar eksekusi gelombang dua. Dipastikan, Kejagung tengah mempersiapkan pemindahan terpidana mati ke lapas Nusakambangan. Pulau Penjara itu dipastikan kembali menjadi lokasi eksekusi. Dengan begitu, dapat diartikan bahwa eksekusi para terpidana mati akan digelar sebentar lagi. Sesuai informasi dari internal Kejagung, walau sempat terjadi tarik ulur, kemungkinan eksekusi tetap dilakukan pada Februari. Menurut data Kejagung, rencananya ada pemindahan terpidana mati dari empat Lapas, yakni Grobogan, Madiun, Jogjakarta, dan Palembang. Lalu, ada juga satu terpidana yang dipastikan sudah berada di Nusakambangan sejak awal. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana menjelaskan pemindahan terpidana mati dari empat lapas ini masih sekadar rencana, belum dipastikan waktu pemindahannya kapan. “Pemindahan akan dilakukan bertahap alias tidak bersamaan. Yang pasti ada yang lewat udara dan ada yang melalui darat,” ujarnya. Khusus untuk pemindahan dua terpidana mati Bali Nine, Tony menjelaskan bahwa sesuai informasi dari Kejaksaan Tinggi Bali, memang ada keinginan untuk memindahkan keduanya lebih awal. Pasalnya, ada penolakan masyarakat Bali yang menuntut agar eksekusi tidak dilakukan di Pulau Dewata. “Ya, jadi tidak perlu lagi ditahan di Lapas Denpasar,” ujarnya. Namun, apakah itu dapat diartikan eksekusi dilakukan dalam waktu dekat? Dia menjawab diplomatis. Menurutnya, sampai saat ini Kejagung belum memutuskan jadwal eksekusi mati. “Nanti, semuanya akan diumumkan, waktu dan siapa saja nama terpidana mati tersebut,” ujarnya. Khusus untuk lokasi eksekusi mati, Kejagung telah memastikan bahwa Nusakambangan menjadi dipandang masih representatif untuk melakukan eksekusi. “Kalau soal tempat kami pastikan di Nusakambangan, tapi di mananya belum ditentukan,” jelasnya. Bila ada terpidana mati yang dipindah dari empat lapas, apakah berarti minimal ada empat terpidana mati yang akan dieksekusi pada gelombang dua? Dia menjelaskan bahwa jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi pada gelombang dua bisa jadi lebih banyak dari pada saat gelombang pertama. Perlu diingat, selain terpidana mati dari empat lapas, ada juga terpidana mati yang sudah berada di Lapas Pasir Putih Nusakambangan. “Namun, jumlah pasti terpidana mati yang akan dieksekusi belum diputuskan,” tutur lelaki asal Madiun tersebut. Soal siapa saja terpidana mati tersebut, Tony mengaku belum mengetahuinya. Hingga saat ini hanya Jaksa Agung H.M. Prasetyo yang mengetahui siapa saja yang masuk daftar eksekusi gelombang dua. “Hanya Jaksa Agung dan Tuhan yang mengetahuinya,” candanya. Namun, lanjut dia, bila merujuk pada instruksi Jaksa Agung, maka terpidana mati yang akan dieksekusi ini tidak hanya berasal dari luar negeri. Kemungkinan besar, ada satu WNI terpidana mati dari Lapas Palembang yang akan masuk ke daftar eksekusi. “Ada satu WNI,” jelasnya lagi. Perlu diketahui, sebelumnya Jaksa Agung akan memprioritaskan eksekusi mati untuk WNA Asal Nigeria Sylvester Obiekwe. Dia saat ini ditahan di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan. Lalu, nama dua terpidana mati asal Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran juga sempat disebut Jaksa Agung yang juga politisi Nasdem tersebut. Sementara Dirjen Lapas Kemenkumham Handoyo Sudrajat menjelaskan, pihaknya belum mendapat informasi detil soal pemindahan terpidana mati Bali Nine ke Nusakambangan. Namun, dipastikan ada surat dari Kejati Bali yang saat ini telah masuk ke Kemenkumham. “Surat itu belum saya baca karena ada agenda di luar,” terangnya. Namun, prosedurnya kalau ada pemindahan terpidana, maka Dirjen Lapas akan berkoordinasi dengan Kalapas yang dituju. Untuk kasus ini, berarti Kalapas Jawa Tengah. “Saya akan memastikan dari Kalapas Bali dan Jateng,” ujarnya dihubungi kemarin. Yang jelas, Lapas di Nusakambangan siap untuk menampung terpidana mati. Dia mengatakan, lapas di Nusakambangan masih sangat cukup. “Jadi, tidak akan da yang menghambat pemindahan tersebut,” ujarnya. Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Pertama (Humas) Kedutaan Besar Australia Laura Kemp enggan berkomentar lebih jauh. Menurutnya, pernyataan resmi dari pihak Australia telah disampaikan pada pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop kemarin (12/2). “Menteri kami telah melakukan pidato pagi ini. Semua sudah diterangkan disana,” terangnya. Sebelumnya, Julie Bishop memang telah menanggapi rencana eksekusi dua terpidana mati asal Australia secara keseluruhan. Dalam pernyataannya, pemerintah Australia tetap pada pendirian untuk menghindarkan hukuman mati kepada warga negara mereka. Hingga saat ini, semua unsur yang ada Australia diakui terus melakukan segala upaya agar Sukuran dan Andy mendapatkan grasi. “Kebijakan anti hukuman mati baik di negara maupun luar tercermin dalam upaya menghindari eksekusi dan pencarian grasi mereka. Jumlah pertemuan representasi berbagai level ke pihak Indonesia sudah melebihi lima puluh kali. Bahkan 30 ribu warga negara Australia telah mengirim surat resmi ke Presiden Jokowi hingga bawahan untuk membatalkan eksekusi,” terangnya. Julie pun menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang menggunakan survey dari Roy Morgan yang mendukung eksekusi duo terpidana tersebut. Menurutnya, hasil yang ada dalam polling tersebut sangat meragukan. Sebab, hal tersebut tak tercermin dalam keluhan dan permintaan yang dikirimkan ke pihak pemerintah. “Ratusan email telah memenuhi inbox saya yang isinya permintaan dari masyarakat Australia agar mereka tak dieksekusi. Saya yakin hasil polling yang ada tak mencerminkan sikap Australia secara akurat. Dan saya sangat menyesalkan otoritas di Jakarta yang menyalahgunakan survey ini,” terangnya. Meski tetap menjamin adanya upaya hingga akhir eksekusi, Julie memberikan sinyal belum tentu bisa mengubah sikap pemerintah Indonesia. Menurutnya, pemerintah sejak awal sudah menerangkan bahwa pihaknya tak bisa menganggu gugat penegakan hukum di negara lain. Hal tersebut bahkan sudah dicantumkan dalam travel advice . “Dalam anjuran tersebut, consular kami sudah menegaskan bahwa kami tak bisa mengeluarkan orang dari penjara atau mengintervensi hukum negara lain,” ungkapnya. Di sisi lain, dia menggunakan argumentasi bahwa Indonesia bakal menjadi pihak yang merugi. Pasalnya, pihak Indonesia saat ini justru gencar untuk mencarikan grasi terhadap WNI yang menjadi terpidana mati di negara lain. “Publik sudah tahu tentang kasus Satinah yang terhindar dari hukuman mati karena lobi pemerintah. Dan Jokowi sudah memerintahkan agar negara hadir dalam perlindungan WNI,” terangnya. Boleh dibilang kebijakan yang dilakukan di Indonesia menjadi pedang bermata dua. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi memang sudah menegaskan bakal melanjutkan eksekusi yang ada. Dalam rapat kerja bersama komisi I DPR, pemerintah telah mengambil kesimpulan untuk melanjutkan kebijakan hukum yang ada. “Saya sudah berhubungan dengan Julie Bishop dua kali. Kami telah sampaikan kebijakan Indonesia bukan melawan negara namun melawan kejahatan. Saat ini, Indonesia bukan lagi negara transit perdagangan narkoba namun destinasi. Lalu, Apakah kejahatan itu akan kita biarkan?” ungkapnya. Sebaliknya, saat ini pemerintah mencatat ada 229 WNI yang terancam mati. 57 persen dari terpidana itu divonis dalam kasus narkoba. Kasus terbesar kedua adalah pembunuhan yang mencapai 34 persen. Sisanya adalah kasus perzinahan, sihir, dan penculikan. “Yang terbanyak memang ada di Malaysia sebanyak 168 WNI. Kebanyakan memang karena kasus narkoba. Yang kedua terbesar ada di Saudi Arabia sebanyak 38 WNI. Saat ini kami masih melakukan upaya litigasi karena masih belum dalam tahap mendesak,” ungkap Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia (PWI-BHI) Kementerian Luar Negeri Muhammad Iqbal. Terkait pengaruh dari kebijakan tersebut, Iqbal pun belum bisa memastikan adanya dampak yang signifikan. Namun, dia menegaskan bahwa suara pemerintah sudah bulat untuk menjalankan hukum yang ada. “Pandangan Pemerintah dan DPR sudah sama. Kami minta negara lain untuk menghormati proses hukum yang ada di Indonesia,” terangnya. Berbeda, Pengamat Hubungan Luar Negeri Dinna Wisnu justru positif keputusan pemerintah saat ini bakal menjadi bumerang. Menurutnya, upaya penegakan hukum yang ada saat ini justru bisa menetralkan hubungan bilateral yang sudah dibangun sebelumnya. Padahal, upaya ini dinilai tidak akan mengurangi tindak perdagangan narkoba internasional. “Tak ada upaya diplomasi sedikit pun soal ini. Yang ada hanya penegakan hukum. Padahal, hal ini belum tentu akan mengurangi sirkulasi narkoba di Indonesia. Konteks perdagangan narkoba saat ini sudah bukan soal pengedar tapi sudah industri. Kalau mau mengurangi ya dipotong dari asalnya,” ungkapnya. (bil)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: