Dispenda Desak Eksekusi Talaga Nilem

Dispenda Desak Eksekusi Talaga Nilem

KUNINGAN – Kepala Badan Taman Nasional Gunung Cire­mai (BTNGC), Patmo yang berkesempatan hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II, Selasa (24/2) membeberkan regulasi terkait pemanfaatan air. Disebutkan, pemanfaatan air yang dibolehkan hanya 50 persen saja dari total debit. Dari 50 persen itu, dibagi kembali dimana hanya 20 persen yang bisa dikomersilkan. Patmo menyebut, adanya pencabutan UU Nomor 7/2004 oleh MK beberapa hari ke belakang. Dengan dicabutnya UU tersebut, maka penguasaan air tidak lagi berada di Kementerian PU. Ini mengindikasikan, BTNGC akan lebih berperan dalam hal itu. “Tapi perlu diluruskan, dalam urusan aset ini tugas kita bukan untuk mencari untung, melainkan bagaimana membuat debit air itu naik. Artinya, lingkungan yang perlu dilestarikan,” terang Patmo di hadapan Ketua Komisi II, H Dede Ismail SIP beserta para anggota Komisi II lainnya. Patmo melanjutkan, dalam mengelola aset terdapat PP Nomor 28/2011 yang ditindaklanjuti dengan Permenhut tahun 2013. Inti dari peraturan itu, pemanfaatan air dari wilayah konservasi yang diperbolehkan hanya 50 persen, selebihnya untuk lingkungan. Dari 50 persen tersebut, 30 persennya diperuntukkan bagi rakyat atau non-komersil. Yang dapat dikomersilkan hanya 20 persen. “Nah, Talaga Nilem di Desa Kaduela Kecamatan Pasawahan itu debit airnya besar dengan kualitas air yang bagus. Nanti izin untuk pemanfaatan air bagi rakyat bisa dikeluarkan. Tapi untuk 20 persen komersil ini, nanti DPRD yang mungkin bisa mengerjasamakan, misal koperasi atau apa lah,” jelasnya. Untuk istilah izin pun, lanjut Patmo, akan mengalami peru­bahan dari SIPA menjadi IUPA, khusus untuk pemanfaatan air komersil. Pemda termasuk DPRD Kuningan nanti yang akan membantu BTNGC dalam menentukan perusahaan-perusahaan. “Tapi yang terpenting kita jangan sampai ributkan pisang goring, sementara dapur pembuat pisang gorengnya dilupakan. Mari diatur bagaiamana caranya agar dapurnya bagus sehingga nanti pisang gorengnya pun enak,” ungkapnya menganalogikan masalah Talaga Nilem. Pada persoalan Talaga Nilem, Patmo menyarankan agar dibentuk kelompok kecil. Jika MoU antara Kelompok Penggerak Pariwisata (Kom­pepar) dengan CV Talaga Nilem Sakti beserta Perdesnya sudah dinilai cacat hukum, maka selanjutnya BTNGC tinggal menunggu pelaksanaan. “Kalau DPRD perintahkan menyetop pemanfaatan air Talaga Nilem, ya tinggal stop saja. BTNGC hanya sebagai eksekutor,” kata Patmo. Dalam menyelingi pernyataan Patmo, Ketua Komisi II, H Dede Ismail SIP menyebut kembali jaringan pipa yang terpasang dalam menyedot air di Talaga Nilem. Dia memperkirakan lebih dari 30 pipa, seperti di sebelah timur yang luput dari perhatian. Tak heran jika pihaknya mengagendakan kembali kunjungan ke lokasi, Kamis (26/2) besok. “Kita sama-sama cari solusi bagaimana mendongkrak PAD. Dari 30 sampai 50 titik pipa yang ada, jika hanya dua titik saja yang bayar pajak, bagi kami ini sangat memalukan,” tandas politisi Gerindra itu. Kepala Dispenda Kuningan, H Dr Dian Rahmat Yanuar MSi saat diberikan kesempatan berbicara, lebih menitikberatkan pada tupoksinya. Sejauh ini pihaknya hanya mengeksekusi perusahaan yang telah berizin. Kenyataannya, di Talaga Nilem hanya dua perusahaan saja yang mengantongi izin. “Di Talaga Nilem itu ada 18 perusahaan komersil yang memanfaatkan air. Tujuh di antaranya perusahaan cukup besar, kemudian tujuh rumah makan, dua isi ulang dan dua kolam renang. Nah, yang terdapat sebagai wajib pajak hanya dua perusahaan dimana CV TNS salah satunya,” sebutnya. Soal SIPA, dia meyakini butuh kajian panjang sebelum mendapatkannya. Setelah itu, ada nilai perolehan air (NPA) yang dihitung untuk pajak. Kenyataannya di lapangan, jadi rugi karena pengambilan air tanpa menggunakan water meter. Pihaknya pun mengaku ironis ketika menemui fakta hanya dua titik saja yang bayar pajak. “Prosentasenya jauh dari harapan. Padahal kalau dira­ta-ra­takan Rp600 ribu per bulan untuk satu titik, maka nominalnya akan cukup besar. Terlebih kalau dipasang water meter,” ucapnya. Bagi Dispenda, ini luar biasa. Tapi, sambung Dian, entah bagi BTNGC dengan cukup besarnya PNBP (penerimaan Negara bukan pajak) yang diterima. Dikaitkan dengan analogi pisang goreng, Dia menyebut tidak adanya kucuran bantuan dana reboisasi dari pusat untuk Kuningan. Padahal selama ini pemda dianggapnya sudah memberikan perhatian lebih ke pusat. “Jadi, kami menyarankan agar persoalan ini dilakukan eksekusi karena jelas sudah meru­gikan pemda,” tandas mantan kepala Bappeda itu. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: