Terbelenggu Rindu
Oleh: Teti Yohana SOSOK mungil, bermata panda, kini tengah berada di tepi pantai nan elok. Ia hanya seorang diri. Menunggu. Menunggu sesuatu yang kan terbit kemudian tak lama kan tenggelam. Bersama detak jam bergulir, ia tak seorang diri lagi. Kini ia mulai ditemani siluet jingga pujaannya. Ia pun beranjak, sedikit mundur mengambil merpati yang sedari tadi ia bawa namun ia sengaja taruh berjauhan dengannya, kemudian perlahan ia berjalan. Hingga tanpa disadari sebagian roknya basah. Tandanya ia telah menginjakkan raganya bersama air yang berdebur. Butiran di pelupuk matanya seakan menyatu dengan deburan ombak. Dengan tertatih ia melepaskan merpati itu. Merpati yang hanya satu, tanpa pasangannya. Ia lepaskan meski dengan raut wajah; Haruskah aku benar-benar lepaskan? Namun ia tetap bertekad melepaskannya. Ternyata, tepat di bagian kaki merpati itu, ia ikatkan sebuah kertas berlambangkan hati. Hatinya, mungkin. Di bagian paling bawah tertera; untuk rierie. Kertas itu amat rapih, sengaja ia pun tak menggambarkan hati itu tengah berdecak penuh sesak belenggu rindu. Justru ia membingkainya sangat rapih. Namun di balik kerapihan kertas itu, tersimpan sejuta makna yang berbanding terbalik dengan keadaan hatinya kala itu. Ia pun melepaskan merpati itu dan membiarkannya terbang. Merpati itu mengepakkan sayapnya, jauh, semakin jauh. Berusaha menembus awan yang kian gelap. Ia berharap merpati itu tak merasa kegelapan, karena ada sebongkah hati yang merpati bawa, yang tanpa disadari sinar dari sebongkah hati itu akan menerangi perjalanan malamnya, karena terdapat ketulusan disana. Wanita itu berharap, merpati itu juga bisa menyampaikan hati itu kepada Yang Maha Agung. Disinggah sana, Negeri di atas berjuta-juta awan. Cukup hanya sampai kepada-NYA. Tak perlu sampai kepada sosok yang ia maknai di hati itu. Tak perlu, tak ada gunanya. Dia tak akan mengubah keadaan yang ia inginkan saat ini. Ia sudah tak menganggapku lagi, mungkin. Merpati itu sudah tak menampakkan sayapnya. Merpati putih itu telah hilang, bersama dengan ukiran hati dan senja yang kian menyembunyikan diri di kebawahan langit. Jingga sudah berpendar, yang tersisa tinggal gelap. Dengan diselimuti angin pantai yang menusuk, wanita itu terisak, begitu terisak. Setapak jalan, terus ia telusuri. Ia mencoba menembus hawa dingin itu bersama isaknya yang kian menjadi. Ketika ia akan sampai di pinggiran pantai, raganya tak kuat menahan beban tubuhnya, beserta beban rindu yang membuncah yang tengah ia tahan. Tubuhnya terkulai lemas. Dingin. Menusuk ke seluruh tubuhnya. Ia selalu lemah dengan hawa dingin. Aku sungguh merindukanmu. Sungguh merindukanmu, rierie. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia berusaha beranjak untuk berdiri tegap sekuat yang ia bisa. Melawan semua beban yang ia pikul. Namun tiba-tiba dari arah yang tak terduga, ia direngkuh oleh seseorang. Ia terkejut. Dan sosok itu adalah orang yang ia maksud di dalam tulisan yang ia terbangkan itu. Hening. Mereka saling terdiam. Wanita itupun terbangun dari lamunan sejenaknya. Ia terkejut dan memulai perbincangan. “Kau?” “Ia aku.” “Kau tahu dari mana aku ada di sini?” “Aku tak lupa. Senja adalah yang selalu kau damba. Air matamu. Kau menangis?” “Tidak. Aku baik-baik saja.” “Kau tak pernah bisa membohongi dirimu sendiri. Matamu. Tatap mata saya sekarang kalau kau memang baik-baik saja. Tatap!” “Untuk apa? Tidak usah. Akuuu……..” “Kenapa? Kenapa kau tak pernah berani mentapku lama?” “Akuuuuuu…..” Tanpa disadari, untuk pertama kalinya wanita itu begitu terisak di hadapan seorang yang selama ini, sangat ia rindukan. Begitu rindu ia rasakan. Rindu candanya, tawanya, dan semua ribuan detik yang sudah dilalui bersama. Setiap saat ia selalu mengirimi sosok itu sebuah pesan yang menyatakan bahwa; aku sangat merindukanmu! Namun tak ada balasan yang berarti, hanya ekspresi senyuman pada ponsel lalu setelahnya tak satupun dibalas lagi. “Kau tak apa? Maaf aku membuatmu menangis seperti ini,” Dengan penuh kehangatan sosok itu mencoba merengkuh wanita itu dan membawanya duduk. Kemudian sosok itu menghapus air mata wanita itu. Tuhan, jantungku berdebar. Sungguh aku merindukan suasana seperti ini. Ampuni aku yang lancang Tuhan. Ampuni aku. Tapi aku begitu merindukannya. Izinkan. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan sebuah kotak. Kemudian ia menyuruh wanita itu untuk membukanya. Betapa terkejutnya wanita itu. Ternyata isinya adalah selembaran fotobox dan beberapa lembar kertas bertinta hitam yang tak lain ialah cerpen buatan wanita itu sendiri yang mana tokoh utamanya adalah mereka, yang secara khusus wanita itu persembahkan untuk sosok itu. “Kau masih menyimpannya?” Dengan kembali terisak begitu dalam. “Tentu saja.” “Apa maksudmu seperti ini?” “Kau diam di sini. Tak lama aku kembali.” Sosok itu bergegas pergi. Entah hendak apa dia. Setelah beberapa menit ia kembali dan mengajak wanita itu ke arah yang sosok itu tuju. “Baca itu.” AKU PUN MERINDUKANMU. Sebuah tulisan di pasir pantai yang dikelilingi lilin dan terdapat beberapa tangkai mawar merah tergeletak bersama pasir pantai, membuat jantung wanita itu bertambah berdegup. Ia semakin lemas. Isaknya pun semakin tak terkendali. Tiba-tiba sosok itu mengenggam tangan wanita bermata panda itu. “Bisakah kau tersenyum? Aku rindu senyum kepala miringmu.” Tuhan. Waktu-MU memang tak pernah terduga. “Kukira kau sudah tak sudi untuk sekadar menyapaku saja. Apalagi untuk seperti ini, kukira kau tak akan pernah sudi lagi. Aku begitu merindukanmu,” “Aku tahu. Tanpa kau bicarapun, matamu selalu berbicara. Jangan sedih ya. Aku tak membencimu. Aku tak….” “Tak apa?” “Tak akan berhenti berada bersama senyum kepala miringmu.” Tuhan.. inikah jawaban rinduku? Terimakasih Tuhan. Tetap jadikan rasa yang aku punya ialah rasa yang Engkau Ridhai. Sebaik-baiknya rasa yang harus aku rasa, rasa karenaMU untuknya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: