Jual beli Raperda Sudah Biasa
KUNINGAN – Isu tarikan yang dilakukan oknum anggota legislatif dalam memuluskan rancangan peraturan daerah (Raperda) menjadi sorotan beberapa pihak. Sebagian besar dari mereka mengaku, itu bukan suatu hal baru yang mengejutkan. Justru merupakan ‘barang lama’ yang sudah dianggap tidak aneh lagi. “Hal tersebut merupakan ‘barang lama’ yang kerap muncul ketika ada kepentingan eksekutif yang memerlukan peran serta legislatif,” ungkap aktivis Forum Telaah Kebijakan dan Kinerja Daerah (F-Tekkad), Soejarwo kepada Radar, kemarin (29/4). Kalaupun saat ini terkesan ada penolakan dari eksekutif yang ditandai dengan munculnya semacam keluhan, dia menduga hal itu sebagai suatu akumulasi dari eksekutif terhadap persoalan tersebut. Keberanian yang muncul dari SKPD menyampaikan keluhannya, menurut Soejarwo, sudah seharusnya menjadi keprihatinan bersama. “Terutama bagi pimpinan dan alat kelengkapan legislatif untuk lebih mawas diri dan koreksi ke dalam,” sarannya. Dia melanjutkan, berbagai bantahan dan bela diri yang diungkapkan oleh DPRD tidak mustahil akan memancing keberanian dari masyarakat untuk membuka keburukan lembaga tersebut lebih dalam. Testimoni yang disampaikan mantan birokrat terkait besaran tarif’ sebuah Raperda yang berada di kisaran Rp10 sampai Rp 15 juta, menurut dia, dapat menjadi fakta yang patut didalami. “Jika beberapa tahun ke belakang sudah mencapai angka 10 sampai 15 juta rupiah per Raperda, dapat disimpulkan jika sekarang muncul angka 25 juta rupiah merupakan kenaikan yang sangat wajar,” tukas Jarwo, sapaan Soejarwo. Terpisah, Direktur Merap Putih Institut, Boy Sandi Kartanegara merasa prihatin atas rumor jual-beli dalam proses penyusunan Raperda. Sebab menurutnya, lembaga DPRD bukan pasar yang memperjualbelikan peraturan daerah (Perda) atau anggaran. Sejatinya, sambung dia, Perda yang disusun haruslah representasi dinamika yang berkembang dengan menyeimbangkan antara keinginan eksekutif dan kemampuan masyarakat dalam melaksanakannya. “Kalau penyusunan Perda diperjualbelikan, bisa dibayangkan pasal-pasal yang akan diakomodir adalah pasal hasil transaksi yang jelas menguntungkan pembeli,” ucapnya. Boy mengatakan, sudah saatnya DPRD me-reform diri sebagai lembaga pengontrol yang obyektif terhadap proses pembangunan daerah. Kata dia, bersihkanlah DPRD dari marketing-marketing yang menjajakan pasal-pasal dalam Raperda. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: