STIT Al Amin Jamin Tidak Ada Ijazah Palsu

STIT Al Amin Jamin Tidak Ada Ijazah Palsu

KANDANGHAUR– Maraknya peredaran ijazah palsu disikapi serius pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Amin Indramayu. Satu-satunya perguruan tinggi diwilayah Kabupaten Indramayu bagian barat (Inbar) ini menjamin seluruh lulusan serta ijazah yang dikeluarkan bukan abal-abal. “Sekarang ini ada beras palsu, uang palsu, artis palsu, suami palsu, merica palsu dan mungkin juga pengabdian palsu. Tapi kami menjamin, bahwa ijazah yang diterima oleh para lulusan dari angkatan pertama sampai keenam kemarin, bukanlah ijazah palsu,” tegas ketua STIT Al Amin Indramayu, DR H Ahmad Mag didampingi PK III DR H Masduki MPdI kepada Radar, Jumat (12/6). Dijelaskan Masduki, STIT Al Amin sangat menutup akses terhadap hal tersebut. Pihaknya melakukan kontrol yang cukup ketat, sehingga tidak seorang pun bisa memalsukan ijazah yang berasal dari STIT Al Amin. Buktinya, hingga saat ini belum ditemukan ada kasus ijazah palsu dan diharapkan ke depan hal ini terus berlanjut. “STIT Al Amin endiri akan meningkatkan keamanan dari waktu ke waktu sehingga kemungkinan munculnya ijazah palsu tidak ada,” terang dia. Dalam wisuda angakatan ke-V dan VI kemarin, lanjut dia, STIT Al Amin telah melahirkan sebanyak 215 sarjana (S1) dari program studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Kepada para lulusan, dia mewanti-wanti bahwa gelar sarjana bukanlah menjadi tujuan tetapi sebagai alat untuk terus meningkatkan potensi diri dan masyarakat menanti kiprah mereka. Merekapun diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh PAI sebagai mata pelajaran maupun sebagai lembaga pendidikan. Beberapa persoalan itu antara lain, sebagai mata pelajaran, PAI di sekolah umum menghadapi persoalan yang tidak dianggap ringan. Antara lain dari aspek metodologis dan materi. Pertama, pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis. Kedua, pendidikan agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa lewat berbagai cara, media dan forum. Ketiga, isu kenakan remaja, perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white color crime, konsumsi minuman keras dan sebagainya, walaupun tidak secara langsung ada keterkaitan dengan pola metodologi pendidikan agama yang selama ini berjalan secara konvensional-tradisional. Keempat, metodologi pendidikan agama tidak kunjung berubah antara pra dan post era modernitas. Kelima, pendidikan agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada. Keenam, sistem evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama menunjukkan prioritas utama pada kognitif, dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan “makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Pada konteks demikian, posisi guru—terutama GPAI—memiliki peran yang sangat urgent dalam memberikan semangat, ketertarikan dan kebermaknaan mata pelajaran kepada peserta didik termasuk di dalamnya penguasaan terhadap materi pembelajaran. “Kompetensi guru ini juga masih menjadi persoalan tersendiri yang tidak hanya bagi guru PAI tetapi juga guru bidang studi lainnya, Data Balitbang Depdiknas, mengindikasikan dari peserta tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang studi ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah,” kata Masduki. (kho)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: