Panas, Sidang Mantan Rektor IAIN SNJ
Gunadi Sebut Oknum Aparat Beri Ancaman BANDUNG- Mantan Rektor IAIN Syekh Nurjati (IAIN SNJ) Cirebon Maksum Muchtar menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Bandung kemarin (3/7). Dia disidang dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan kampus dengan kerugian negara Rp8,2 miliar. Agenda sidangnya mendengarkan keterangan ahli dari Kementerian Keuangan. Sidang yang berlangsung sekitar satu setengah jam itu memanas, saat Gunadi Rasta, penasehat hukum Maksum mencecar Syakran Ludi, saksi ahli dari Kementerian Keuangan. Itu terjadi saat berbicara tentang kerugian negara. Sampai-sampai, karena cecaran terjadi berulang, majelis hakim yang diketuai Barita L. Gaol melerai. Dalam penjelasan Syakran, definisi kerugian negara terjadi saat uang telah keluar dari kas negara tanpa adanya imbal. Baik barang maupun jasa. Dengan begitu, dalam kasus pengadaan lahan IAIN Syekh Nurjati, sertifikat tanah masih atas nama pihak lain bukan kampus. Sedangkan uang sudah dikeluarkan negara. “Maka ya (dari situ) kerugian negara terjadi,” jelas dia. Kerugian negara tetap terjadi, kata dia, sekalipun uangnya telah dikembalikan. Artinya, hal itu tidak mengurangi adanya kerugian negara. Ditambah, rektor sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) tetap bertanggung jawab terhadap proses pengawasan dan evaluasi pengadaan lahannya. “Sekalipun sebagian kewenangan (KPA) telah dialihkan ke (pengguna anggaran), KPA tetap tanggung jawab,” jelas dia. Merepons hal itu, Gunadi Rasta menyayangkan sikap ahli yang berkeras soal telah terjadi kerugian negara. Padahal, dalam proses pengadaan lahan IAIN Syekh Nurjati, seluruh tahapan dan persyaratan telah dilalui. Sampai akhirnya keluar uang untuk membeli lahan. “Lalu di mana kerugian negaranya? Lahannya masih ada. Prosesnya sudah dilalui. Mana?,” jelas dia. Karena itu, Gunadi menilai, kasus yang dialami kliennya sebenarnya hanya persoalan administrasi. Namun kemudian menjadi pidana, setelah ada oknum aparat yang mengancam. “Lengkapi proses administrasinya, kalau tidak (dipidana),” jelas dia. Tapi, ketika ditanya siapa oknum dimaksud, Gunadi enggan membuka identitas. “Nanti saja lah. Nanti saya buka (identitas oknumnya),” tegas dia. Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ditangani langsung oleh Kasi Pidsus Kejari Cirebon Nusirwan membenarkan, setiap persoalan korupsi adalah masalah administrasi. Namun, kemudian, justru dari situ ditemukan berbagai bentuk pelanggaran hukum termasuk dugaan korupsi. Sebab, setiap persoalan korupsi diawali dari adanya kesalahan administrasi. “Ya kita lihat saja (nanti saat putusan). Kita buktikan,” terang dia. Terkait proses penyertifikatan hasil pengadaan tanah, kata dia, justru baru akan dilakukan ketika persoalan hukumnya mencuat. Sementara itu, saksi ahli dari Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia Profesor Arie Sukanti Hutagalung menilai, pengadaan tanah IAIN Syekh Nurjati Cirebon sesuai aturan. Pasalnya, hal tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Yakni, Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 dan perubahannya Perpres 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Arie menjadi ahli dalam kasus yang sama, namun untuk terdakwa Kepala Biro Administrasi, Umum, dan Kemahasiswaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Ali Hadiyanto. Sidangnya sendiri dilakukan setelah sidang Maksum. Arie yang juga Ketua Tim Perumus untuk Indonesian Land Management and Policy Development Program (LMPDP)-kerjasama Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Bank Dunia (IBRD) ini menyampaikan, dalam Perpres 65 Tahun 2006 dijelaskan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti pendidikan prosesnya bisa langsung dilakukan pihak bersangkutan kepada pemilik lahan dengan cara musyawarah. Sehingga pengadaan tanah IAIN Syekh Nurjati di Desa Astapada, Kecamatan Tengahtani, Kabupaten Cirebon sudah sesuai dengan peraturan yang ada, dan tidak bertentangan dengan hukum. Di tempat yang sama Direktur Pengadaan Tanah Direktorat Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat M. Noor Marzuki menambahkan, yang dilakukan IAIN Syekh Nurjati memang sudah sesuai aturan. Sebab, dalam Perpres 65 tahun 2006, memperbolehkan adanya pembelian langsung pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara musyawarah. Menurut Noor, dalam pelaksanaannya pengadaan tanah tersebut harus memperhatikan beberapa hal mulai dari NJOP, harga pasar dan harga nyata. “Karena penjelasan pasalnya dengan cara musyawarah, maka pengadaan tersebut memperhatikan hal-hal tersebut yakni NJOP, harga pasar, dan harga nyata. Kenapa harus jadi perhatian karena harga nyata banyak dipengaruhi beberapa hal,’’ ujarnya. Terkait proses penyertifikatan, kata dia, meski namanya belum alih status menjadi milik IAIN Syekh Nurjati, tetap menjadi aset milik negara. Tinggal proses berikutnya mengajukan kepada BPN untuk didaftarkan permohonannya. Sebab, perlu diketahui, aset negara yang belum didaftarkan juga masuk kategori aset negara. “Saudara cek sekarang, seluruh jalan tol itu sudah pada punya sertifikat belum. Tapi, tetap milik negara. Di Indonesia, asetnya yang disertifikatkan baru 20 persen. Masih ada 80 persen lagi (belum). Itu terjadi karena anggaran terbatas,” ungkap dia. Wa Ode Nurzaenab, penasehat hukum Ali Hadiyanto mengungkapkan, pihaknya menghadirkan Arie dan Noor, sebagai saksi ahli agar kasus hukum menjadi terang benderang. Pasalnya, sejak awal kasus tersebut bergulir JPU seakan memaksakan dakwaan yang tidak berdasar. Sebab, JPU menerapkan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Presiden No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Padahal, lanjut Wa Ode, untuk pengadaan tanah IAIN Syekh Nurjati, jelas-jelas mengacu pada Perpres 65/2006. Bukan Perpres No 71/2012. Senada dikatakan penasehat hukum Maksum Muchtar, Gunadi Rasta. Dia menegaskan, kasus dugaan korupsi IAIN Syekh Nurjati adalah bentuk kriminalisasi. Pasalnya, kasus tersebut benar-benar dipaksakan. “Ini jelas-jelas kriminalisasi karena ada orang lain yang ingin jadi rektor. Jadi mengorbankan rektor yang ada. Unsur kerugian negaranya di mana, wong tanahnya juga masih ada,” tegas Gunadi usai sidang. Seperti diketahui, kasus dugaan korupsi IAIN Syekh Nurjati Cirebon menyeret dua nama penting yakni Rektor IAIN dan Kepala Biro Administrasi, Umum, dan Kemahasiswaan. Kasus itu bermula ketika IAIN Syekh Nurjati membeli tanah seluas 40.190 meterpersegi di Desa Astapada, Kecamatan Tengahtani, Kabupaten Cirebon dengan harga Rp8,6 miliar pada 2013 lalu. Rencananya tanah tersebut akan digunakan untuk membangun kampus II IAIN Syekh Nurjati. Tanah yang dibeli itu merupakan bagian dari rencana pembelian tanah seluas 6,7 hektare dengan anggaran sebesar Rp16 miliar. Namun, pengadaan tanah tersebut diduga tidak dilakukan berdasarkan aturan yang ada. Akibatnya, tanah itu tidak bisa dialihkan haknya atas nama negara atau atas nama IAIN Syekh Nurjati. Padahal, berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, paling lama 30 hari tanah yang dibeli harus sudah beralih haknya kepada negara. Berdasar perhitungan BPKP, kerugian negara dalam kasus tersebut sekitar Rp8,2 miliar. (hen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: