Tolak Penyidik Independen hingga Buka Cabang KPK

Tolak Penyidik Independen hingga Buka Cabang KPK

JAKARTA -Tahapan wawancara mulai dilakukan 19 calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin (24/8). Sebanyak tujuh capim mengikuti wawancara hari pertama. Beragam pandangan dan janji pun disampaikan para kandidat. Meskipun beberapa di antara mereka juga ada yang terlihat gugup. Tujuh capim yang mengikuti wawancara antara lain Ade Maman Suherman, Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Brigjen Pol Basaria Panjaitan, Budi Santoso, Chesna Fizetty Anwar dan Firmansyah TG Satya. Melihat dari gesturnya, beberapa dari peserta wawancara tampak gugup menjawab pertanyaan tim seleksi. Misalnya saja dari jawaban yang tak lugas, terbata-bata hingga menolak menjawab. Aneka pendapat dan janji jika terpilih menjadi pimpinan KPK diungkapkan oleh para peserta. Ade Maman Suherman misalnya, jika terpilih menjadi pimpinan KPK, selama 30 hari pertama dia akan melakukan adjustmen, berkoordinasi secara internal. “Konsolidasi dengan deputi yang ada di KPK untuk melihat masalah di KPK,” ungkap Ade Maman Suherman. Isu pencegahan korupsi yang selama ini dianggap belum dijalankan dengan baik oleh KPK juga menjadi bahan “jualan” para kandidat. Ade Manan mengatakan jika dia terpilih, lembaga antirasuah akan lebih difokuskan pada pencegahan, bukan penindakan. “Pencegahan dari segi pemberitaan memang kurang menarik. Tapi penindakan rating lebih tinggi. Kalau konsep saya lebih preventif,” ujarnya. Agus Rahardjo, capim lainnya banyak memaparkan aset yang dimilikinya. Dia mengaku saat ini hanya memiliki tabungan Rp20 juta di empat rekening. Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu mengaku hanya punya dua aset tanah di Jonggol dan BSD, Tangerang. Capim lain, Alexander Mawarta yang kini berstatus hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor lebih banyak mengkritisi KPK. Hal itu disampaikan saat dicecar seputar dissenting opinion dalam beberapa putusannya. Termasuk putusan Alexander saat membebaskan pegawai pajak Dhana Widyatmika. “Saya memutuskan itu sudah berdasarkan undang-undang, bukan untuk gagah-gagahan,” ungkapnya. Dia justru menyebut selama ini penegak hukum sering terkesan kejar setoran sehingga membuat dakwaan kasus korupsi asal-asalan. Hal itu juga yang terjadi pada KPK. “Dakwaan tidak disusun cermat dengan pembuktian tidak profesional. Nanti kalau hakimnya dissenting opinion dianggap salah. Ini bisa jadi bumerang buat penegak hukum,” katanya. Capim dari Polri, Basaria Panjaitan pun tak luput mengkritik KPK. Polwan yang pernah menjadi anak buah Komjen Budi Gunawan di Lemdikpol Polri itu mempermasalahkan keberadaan penyidik independen. Hal itu juga yang dipermasalahkan Budi Gunawan dalam gugatan praperadilannya, saat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. “Penyidik (KPK, Red) haruslah dari kepolisian atau kejaksaan,” ucapnya. Keberadaan penyidik independen menurut dia harus disiapkan melalui pelatihan dan pendampingan yang kuat. Jika tidak, ini dikhawatirkan akan menabrak prosedur saat bekerja. ”Saya tidak setuju kalau penyidik independen, baru tiga bulan dilatih langsung melakukan penyidikan,” tegasnya. Budi Santoso, capim yang kini berstatus Wakil Ketua Ombudsman memiliki pandangan yang berbeda. Dia lebih mengedepankan gagasan cabang KPK di daerah. Hal itu menurutnya perlu mencontoh apa yang dilakukan Ombudsman. “Gagasan itu harus diwujudkan, mungkin saja kok karena tidak ada aturan yang dilanggar,” ujarnya. Budi mengakui kalau sekadar membuka cabang sebenarnya mudah. Yang sulit justru mendapatkan sumber daya manusia yang kompeten. (lus/gun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: