Falsafah Daya Juang Hidup

Falsafah Daya Juang Hidup

KETERBELAKANGAN wawa­san pendidikan, menjadi salah satu fakta empiris di lapangan yang mengindikasikan adanya fenomena-fenomena sosial di masyarakat. Keterbekalangan wawasan pendidikan tertuju pada perilaku-perilaku asusila yang terjadi pada generasi muda. Mulai dari remaja SMA, SMP dan bahkan SD, telah terkontaminasi dengan perilaku 5 M (Maen, Madat, Maling, Madon, Minum). Berjudi, narkoba, pencurian, kasus asusila, hingga minum-minuman keras, semakin menjamah generasi penerus bangsa. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Di antaranya keterbelakangan akan wawasan pendidikan. Faktor lainnya bisa jadi karena daerah tempat domisili dan lingkungannya, baru terbuka dari isolasi dunia. Dengan kata lain, lingkungan sekitar generasi penerus bangsa itu belum lama menyapa dunia luar. Terlebih di masa remaja yang penuh dengan proses pencarian jati diri. Beberapa penyebab faktor kemerosotan sikap dan prilaku moral para remaja dapat terjadi karena minimnya sarana prasarana penunjang pendidikan. Termasuk, masih minimnya sarana fisik akses ke daerah tersebut. Pemerataan mengenyam pendidikan, karakter budaya malas, pengaruh negatif dari luar yang tidak dapat dihindarkan, ekonomi penunjang hidup yang rendah, sikap apatis tidak ingin ada perubahan ke arah lebih baik, hingga falsafah daya juang hidup yang rendah, menjadi beberapa penyebab para pemuda pemudi generasi penerus bangsa ini terlambat dalam melangkah dan menatap kehidupan. Semua faktor itu secara langsung maupun tidak langsung, telah mengikis habis jiwa optimisme yang dimiliki mereka. Padahal, remaja sebagai usia pencarian jati diri, harus diberikan akses wawasan pendidikan lebih luas, mudah dan berkelanjutan. Sebaliknya, fenomena tersebut kerap melanda tempat terjadinya interaksi belajar mengajar. Juga sering terjadi di tempat transfer ilmu pengetahuan berlangsungnya pendidikan dan pengajaran, yaitu sekolah. Dalam kenyataan yang terjadi, sekolah dengan kondisi geografis berada di daerah tersebut yang mana siswanya datang dari ekonomi tidak mampu, secara ideal dan seharusnya terjadi ledakan keinginan dalam diri siswanya dengan semangat baja dan tekad kuat menuju perubahan lebih baik. Tujuan akhirnya, dengan semangat gigih dan tekun belajar, mampu memperbaiki taraf hidup dengan cara datang ke sekolah dengan sangat gigih, rajin, dan bersemangat. Hal ini terjadi saat menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik. Siswa dari keluarga tidak mampu, secara ideal dan seharusnya tidak mengenal bentuk rintangan apapun. Tetapi, kenyataannya tidak sedikit yang berperilaku malas belajar, tidak ada keinginan belajar, tidak ada motivasi belajar, banyak yang menggeluti obat-obat terlarang, dan melakukan tindakan asusila. Fenomena perilaku-perilaku di atas ada diantaranya kemungkinan keterkaitan dengan daya juang hidup yang rendah di lingkungan keluarga dan masyarakat di daerah tersebut. Dengan isolasi keterbukaan wawasan lingkungan daerah setempat yang memiliki akses sarana fisik kurang memadai, membuat kurangnya interaksi masyarakat dengan lingkungan daerah tetangga yang sudah lebih dulu maju dan berwawasan sehat. Akhir dari tulisan ini, penulis menyampaikan permohonan kepada pihak-pihak yang berwenang untuk lebih memperhatikan lagi akses-akses sarana di kawasan yang belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Mulai dari sarana transportasi, sosial masyarakat, kesehatan hingga pendidikan. Hal ini demi mencapai kemajuan pendidikan dan peningkatan wawasan pendidikan di kawasan-kawasan tersebut. Tujuan akhirnya, mewujudkan Kota Cirebon yang Religius, Aman, Maju, Aspiratif dan Hijau (RAMAH) di tahun 2018. (*) *) Penulis Kepala Sekolah SMAN 9 Kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: