Diusir karena Dikira Kumpul Kebo
Buku Nikah Palsu Bikin Ratusan Pasutri Menderita Buku nikah palsu bikin heboh Cirebon. Berlangsung sejak tahun 2000, kasus ini baru terungkap 2015. Sayangnya, sejauh ini belum ada upaya serius dari pemerintah untuk menuntaskan masalah ini. Padahal ratusan pasangan suami istri kini ‘menderita’ karena sulitnya mengurus administrasi kependudukan. MENIKAH merupakan momen paling membahagiakan bagi siapapun. Namun, ratusan pasangan suami istri di Desa Panguragan Lor, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, harus gigit jari usai ijab kabul. Bukannya mendapat buku nikah yang asli, namun mereka tertipu dan tidak mendapatkan buku nikah yang asli. Buku nikah palsu ini sudah beredar di Desa Panguragan Lor sejak tahun 2000. Masyarakat yang mempercayakan pengurusan dokumen pernikahan pada salah satu oknum perangkat desa akhirnya kecele dan malah mendapatkan buku nikah palsu. Ratusan pasangan itu pun mulai menyadari ketika kesulitan membuat akta lahir untuk sang anak, ataupun kepengurusan administrasi kependudukan lainnya. Pasangan yang menjadi korban adalah Kholida dan Samudi. Mereka berdua melangsungkan pernikahan pada 2001. Namun kala itu Kholida dan suaminya hanya mendapatkan satu buku nikah, yaitu duplikat buku nikah suami. “Waktu itu alasannya buku lainnya dipegang dia (aparat desa, red). Katanya untuk jaga-jaga barangkali hilang atau apa gitu,” tutur Kholida. Awalnya, tidak ada rasa heran dan curiga pada gerak-gerik oknum aparat desa itu. Namun kecurigaan mulai muncul saat ia kesusahaan membuat akta lahir untuk anaknya yang hendak bersekolah. “Saya awalnya bingung kok kami hanya mendapatkan satu buku nikah dan yang satunya dipegang dia. Alasannya agar tidak hilang. Eh ternyata buku nikah yang saya pegang ini palsu. Setelah ditanyakan ke petugas, pernikahan saya tidak terdaftar,” keluhnya. Karena kesulitan membuat akta, Kholida akhirnya mendatangi aparat desa yang menahan buku nikahnya untuk meminta pertanggung jawaban. Apesnya, dia harus mengeluarkan uang hingga Rp500 ribu untuk mendapatkan pengganti akta lahir. “Pernikahan saya tidak terdaftar, jadi akhirnya saya minta tolong lagi ke aparat desa itu. Habis mau ke mana lagi. Akhirnya saya bayar Rp500 ribu dan akta lahir anak saya keluar,” tuturnya. Kholida pun sangat menginginkan bisa mendapatkan buku nikah asli. Berbagai upaya pun sudah ditempuh, namun hal itu tak kunjung berhasil. “Katanya kalau mau dapat buku nikah asli harus sidang dulu. Katanya juga haru bayar lagi dan biayanya cukup besar,” ujar ibu dua anak ini. Keresahan serupa juga dialami Mela. Menikah sejak tahun 2009, ia pun kebingungan membuat akta lahir untuk sang anak. Padahal saat ini sang anak sudah berusia dua tahun. “Dulu saya sempat meminta bantuan bikin akta ke bidan, tapi kata bidan, buku nikah saya ini palsu,” ujarnya. Karena tidak percaya dengan pernyataan bidan, Mela pun akhirnya melakukan pengecekan ke Kantor Urusan Agama (KUA). Benar saja, pernikahannya tidak terdaftar. Karena kesal, ia pun mendatangi aparat desa yang memberikan buku nikah padanya. Ia meminta pertanggung jawaban agar aparat desa itu untuk membuatkan akta lahir anaknya. Tentu tidak gratis. Ia harus merogoh koceknya sebesar Rp100 ribu. “Saya pernah minta ke dia (oknum aparat desa, red) tapi jawabannya hanya nanti dan nanti. Sampai sekarang, akta lahir itu tidak pernah saya dapatkan,” jelasnya. Padahal, Mela mengatakan, akta lahir menjadi salah satu persyaratan penting untuk masuk ke jenjang pendidikan. Mendapati buku nikahnya ternyata palsu membuat Mela merasa kebingungan. “Kami tak mengerti kenapa buku nikah kami palsu. Saya bingung karena tak bisa membuat akta lahir. Nanti anak-anak saya gimana? Masa mereka tidak bisa sekolah,” ungkapnya. Bukan hanya persoalan kesulitan membuat dokumen administrasi kependudukan, keberadaan buku nikah palsu ini juga merepotkan masyarakat. Bahkan, satu pasangan yang sudah menikah pernah dikira kumpul kebo gara-gara buku nikah yang dimilikinya ternyata palsu. Koran ini juga mewawancarai salah satu warga yang enggan menyebutkan namanya secara langkap. Sebut saja N. Dia mengaku memiliki kerabat pasangan suami istri yang pergi untuk merantau ke Jakarta guna mengadu nasib. Tinggal di salah satu perkampungan, awalnya kerabatnya itu hidup biasa saja. Kehidupan sebagai suami istri tetap berjalan sehari-hari. Namun keberadaan mereka sempat mengundang curiga masyarakat setempat. Dalam operasi yang dilakukan RW setempat, mereka diminta untuk menunjukkan buku nikah. “Setelah dicek, RW setempat tahu kalau itu buku nikah punya saudara saya itu. Dia dan suaminya dituding kumpul kebo dan diminta untuk keluar dari situ,” ujar N. Karena khawatir membuat kondisi kampung semakin tidak kondusif, mereka akhirnya pulang ke Panguragan Lor. Sejak saat itu, mereka enggan untuk merantau lagi karena khawatir hal serupa terjadi lagi. “Kasihan mereka, sekarang tidak mau merantau lagi. Padahal mereka menikahnya sah. Tapi malah dikira kumpul kebo gara-gara buku nikah palsu,” ujar N. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, sebanyak 572 buku nikah palsu atau 286 pasang buku nikah palsu beredar di Desa Panguragan Lor, Kecamatan Panguragan. Buku nikah tersebut palsu beredar di Blok 1 Sebanyak 87 pasang, Blok 2 sebanyak 62 pasang, Blok 3 sebanyak 37 pasang, blok 4 sebanyak 32 pasang dan blok 5 sebanyak 68 orang. Staf KUA Arjawinangun, Kusdarminto, menjelaskan, kasus pemalsuan buku nikah palsu ini terjadi di Arjawinangun dan Panguragan. Kala itu, Kecamatan Panguragan belum mengalami pemekaran dan menyatu dengan Arjawinangun. Kasus pemalsuan buku nikah palsu ini, jelas dia, sudah berlangsung sejak beberapa tahun silam namun baru terungkap 2015. Kasus ini terungkap saat ada warga Desa Panguragan Lor hendak melakukan permohonan legalisir. “Dulu sempat ada warga Desa Panguragan yang meminta legalisir untuk membuat akta anak. Tetapi setelah saya cek yang bersangkutan tidak terdata, sehingga kami tidak bisa membantu,” ujarnya. Pernikahan tersebut tidak teraftar di KUA Arjawinangun. Nama pasangan pun tidak ada. Diakuinya sejak 2010 silam sudah ada sekitar 100 orang yang meminta register pernikahan. Namun nama pasangan itu tidak terdaftar. Kasus ini pun mulai muncul setelah masyarakat berani melaporkan persoalan ini pada pihak kepolisian. “Tahun 2010 sudah sekitar 100 orang yang menanyakan hal ini,” lanjutnya. Ia pun mengimbau masyarakat untuk mendaftarkan langsung perkawinan ke KUA terdekat. Nomor register pernikahan ada di bagian bawah buku dan terdapat tandatangan Menteri Agama RI serta kertas hologram berwarna kuning. (arn/kmg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: