Mesir Terus Rusuh, 3 Tewas Ditembak
KAIRO - Salat Jumat di masjid yang terletak di Mansour Street, dekat Lapangan Tahrir, Kairo, Mesir, baru saja berakhir kemarin (3/2) ketika serangan gas air mata itu berdatangan. Para jamaah yang hampir semua adalah demonstran tentu saja kaget dan langsung semburat. Aparat dari Pasukan Keamanan Pusat (CSF), satuan andalan pada era mantan diktator Hosni Mubarak, terus mengejar demonstran hingga ke ruas jalan yang berdekatan dengan Mansour Street, Mohamed Mahmoud Street. Di Mohamed Mahmoud Street itulah terletak Kementerian Dalam Negeri Mesir. Tempat tersebut menjadi episentrum demonstrasi sejak Jumat dini hari pukul 01.30 waktu setempat menyusul tewasnya 74 orang dan sekitar 1.000 lainnya luka-luka di Stadion Port Said dalam laga Liga Mesir antara Al-Masry dan Al-Ahly sehari sebelumnya. Demonstrasi yang diikuti sekitar tiga ribu orang juga berlangsung di Suez. Sebagaimana halnya di Kairo, aparat merespons aksi jalanan itu dengan keras. Buntutnya, sebagaimana dilaporkan situs berita Ahramonline, tiga orang tewas karena ditembak aparat. Dua di antaranya di Suez. Sementara itu, hampir 400 lainnya terluka karena gas air mata, peluru karet, serta lemparan batu. Di Suez maupun Kairo, aparat dilaporkan juga menggunakan senjata tajam. Mesir memang kian mendidih sejak kerusuhan di Port Said tersebut. Dimotori Ultras, kelompok suporter garis keras dua klub terbesar Mesir yang berbasis di Kairo, Al-Ahly dan Zamalek, puluhan ribu orang turun ke sekitar Tahrir. Mereka mengutuk pemerintahan sementara Mesir yang di bawah kendali Dewan Agung Militer karena dianggap membiarkan, bahkan mendalangi, kerusuhan di Port Said. Sangat mungkin kerusuhan di Port Said itu memicu revolusi kedua di Mesir yang hanya berselang setahun dari revolusi pertama yang berhasil melengserkan Mubarak. Bakal sangat berat bagi pemerintah di bawah Dewan Agung Militer untuk bertahan. Mereka sama sekali tak punya legitimasi di mata publik. “Itu bukan kerusuhan sepak bola. Itu pembantaian Ultras,” bunyi sebuah spanduk yang dibawa pendukung Al-Ahly yang berdemonstrasi di depan Kementerian Dalam Negeri kemarin merujuk pada kerusuhan di Port Said seperti dikutip Daily Mail. Di Kairo, demonstran berkumpul dulu di dekat markas Al-Ahly sebelum bergerak menuju Tahrir, tepatnya Kementerian Dalam Negeri. Kementerian tersebut diincar karena mereka membawahkan kepolisian yang dianggap tak melakukan apa pun untuk mencegah kerusuhan di Port Said. Tembok yang memisahkan Tahrir dengan kantor kementerian dirobohkan demonstran. Di tempat itulah demonstran bertarung dengan aparat CSF pada November lalu yang menewaskan 40 orang. Sementara itu, dugaan kerusuhan di Port Said memang diskenario menguat seiring terus mengalirnya kesaksian para fans Al-Masry. Mereka kompak menyebut pemicu kerusuhan adalah preman bayaran yang menyusup di antara suporter tim tuan rumah. “Saya melihat preman masuk stadion sambil membawa senjata tajam,” tulis Mohammed Mosleh, seorang fans Al-Masry, di akun Facebook-nya seperti dikutip Daily Mail. “Kami seharusnya bergembira karena bisa mengalahkan Al-Ahly, sesuatu yang hanya terjadi dua kali sepanjang usia saya. Seluruh suporter Al-Masry bergembira. Tak ada di pihak kami yang menginginkan (kerusuhan, red) itu”. Kecaman kepada aparat keamanan juga datang dari ketua parlemen Mesir asal Ikhwanul Muslimin, Saad el-Katatni. “Apa yang terjadi di Port Said itu sungguh suatu aksi kejahatan. Ini bagian dari skenario untuk memicu kerusuhan guna menghancurkan Mesir.” Sementara itu, Ultras Ahlawy, satu di antara dua faksi kelompok suporter garis keras Al-Ahly, terang-terangan menunjuk militer dan para kroni Mubarak mendalangi kerusuhan terkait sepak bola terburuk sejak 1996 tersebut. “Mereka sengaja ingin menghukum kami karena keterlibatan kami dalam revolusi (yang berhasil melengserkan Mubarak, red),” bunyi rilis resmi Ultras Ahlawy sebagaimana dikutip Daily Mail. (c5/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: