Darurat Kekerasan Seksual Anak

Darurat Kekerasan Seksual Anak

Oleh: Dudi Farid Wazdi DI negeri ini, apa sih yang tidak darurat? Beberapa hari yang lalu kita  menyaksikan di media, keganasan bakal manusia (anak belum balig) yang hilang akalnya. Layaknya binatang, bahkan lebih sesat dan ganas, seorang anak SMP memperkosa anak SD. Lebih dari itu, misalnya, kita dibikin merinding ketika menyaksikan sebuah stasiun televisi mengulas kisah RI, seorang siswi kelas lima SD yang tewas di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hasil visum menyatakan bahwa luka parah di kemaluannya dan penyakit menular seksual yang dideritanya merupakan akibat kekerasan seksual. Mengikuti perkembangan kasus ini, ternyata lebih merinding lagi, karena pada akhirnya terkuak bahwa pelaku adalah ayah kandungnya sendiri. Walaupun ini bukan kasus pertama, RI adalah menjadi penanda sebuah keadaan yang suram dalam penegakan perlindungan anak di Indonesia. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, pada tahun 2012, lebih dari 2.413 laporan kekerasan terhadap anak, 926-nya merupakan kasus-kasus seksual. Pada tahun 2013, lebih dari 2.509 laporan kekerasan, 59% adalah kekerasan seksual. Sementara tahun 2014, Komnas PA menerima 2.637 laporan, 62%-nya kekerasan seksual. Data di atas sungguh merupakan suatu angka fantastis yang tidak berbanding lurus dengan begitu banyaknya lembaga peduli anak dan begitu bervariasinya program-program untuk anak di Indonesia. Data dan fakta menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak terus bertambah dan meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Komnas PA menyatakan bahwa  sejak tahun 2013 adalah (tahun) darurat kekerasan seksual terhadap anak dan ternyata sampai hari ini pun lebih darurat lagi. Di sini, jelas masyarakat harus menuntut agar negara meningkatkan hukuman bagi orang dewasa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Sudah banyak program perlindungan anak didesain dan dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga peduli anak. Jika diperlukan tindakan medis, tentu harus dilakukan oleh orang yang berkompeten. Untuk urusan kejiwaan, konselor, psikolog, atau psikiater adalah orang yang tepat; sementara proses hukum merupakan kompetensi pihak-pihak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Masing-masing bagian harus saling terkait dan saling menunjang, walaupun mempunyai porsinya sendiri-sendiri. Satu bagian lagi yang teramat penting adalah peran penting orangtua dan keluarga. Sesungguhnya, sebagai orangtua atau orang dewasa yang dekat dengan anak, kita dituntut untuk berperan di semua lini; pencegahan, penanganan, bahkan sampai pada tindakan rehabilitative terhadap kasus-kasus kekerasan seksual anak. Dalam tahap pencegahan, perlu disadari bahwa sex is everywhere. Mau tidak mau suka atau tidak suka, anak akan melihat, membaca, mendengar, bahkan belajar dari banyak sumber dan media mengenai seks. Baik, buruk, benar, dan salah akan terekam dalam pikiran anak. Jika tidak terfilter dengan baik, banyak informasi sesat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya masuk ke benak anak. Di sinilah peran orang tua dimulai, yaitu dengan memberikan pelajaran tentang seks. Pelajaran yang diberikan tentu saja harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak, dan tidak serta merta atau sekaligus, melainkan secara perlahan dan bertahap. Pendidikan seks akan berhasil jika diberikan secara komprehensif, tidak hanya melalui kata-kata, tapi juga perbuatan, sikap, dan ditananamkan melalui nilai-nilai. Melatih anak untuk berkata “tidak” juga harus dilakukan sejak dini. Banyak kasus kekerasan terjadi karena korban tidak bisa atau tidak mampu melakukan penolakan. Berkata “tidak” terhadap perkataan atau perlakuan yang tidak sesuai dengan kehendak, norma, atau nilai yang diyakini anak merupakan benteng, terutama ketika kita tidak berada di sekitar mereka. Langkah selanjutnya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah dengan memberinya kepercayaan. Orangtua diharapkan menjadi teman terdekat bagi anak, sehingga anak akan dengan leluasa dan nyaman berbicara mengenai dirinya dan kegiatannya. Jika anak mulai berbicara masalah yang sensitif seperti dijahili temannya, diganggu tetangganya, sampai digoda, diraba, atau dipaksa berhubungan seksual, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah memberikan atensi terhadap setiap keluh kesahnya. Sebaiknya orangtua tidak terburu-buru menghakiminya, tetapi mendengarkan dulu dan menenangkan diri. Jika orangtua tidak mampu menanganinya, sebaiknya meminta bantuan orang lain, baik itu saudara, orang yang dipercaya, atau psikolog. Di tahap penanganan, jika anak mulai membuka rahasia tentang perlakuan seksual yang menimpanya, dapat dipastikan itu benar-benar terjadi. Yang sulit justru membuatnya bisa terbuka dan berbicara jujur terhadap perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Ada anak yang tetap bersikap “manis”, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Dia akan menyimpan serta menutup rapat-rapat rahasia pelecehan seksual yang dialaminya. Hal penting lainnya yang harus diketahui orangtua adalah bahwa sebagian besar pelaku kekerasan merupakan orang-orang terdekat dan dikenal oleh anak. Orangtua perlu mengenali tanda-tanda pada anak yang pernah atau sedang mengalami kekerasan seksual. Memang gejalanya tidak mutlak tampak, tetapi orangtua perlu waspada jika anak mulai depresi, gelisah, ada gangguan makan (misal tidak nafsu makan), mandi berlebihan atau malas menjaga kebersihan, mengalami mimpi-mimpi buruk, dan keluhan fisik seperti bengkak pada alat kelamin, pendarahan, kehamilan usia dini, dan sebagainya. Secara sosial, tanda-tanda yang biasa terjadi adalah bermasalah dengan sekolah, menarik diri dari keluarga, teman atau aktivitas biasanya, melarikan diri, pasif atau terlalu over dalam berperilaku, rendah diri, serta memiliki perilaku yang merusak diri (upaya bunuh diri, menjadi pecandu alkohol dan narkoba, dan lain-lain). Jika anak tidak mau bercerita, jangan mendesaknya secara berlebihan. Bisa jadi desakan akan semakin memperburuk keadaan atau meningkatkan traumatis pada kejiwaannya. Selain meminta bantuan orang yang dipercaya dan berkompeten, seharusnya orangtua memperlihatkan kasih sayang dan kesungguhan untuk membantunya sang anak keluar dari masalahnya. Tentu tidak ada orangtua yang ingin anak-anaknya terjerat masalah yang akan menghancurkan masa depannya, terutama mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Namun jika itu sudah terjadi, orangtua juga tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan agar bisa berpikir secara jernih dan segera menanganinya. Dalam tahap rehabilitasi, orangtua dituntut untuk selalu proaktif dalam proses penanganannya, baik itu medis, kejiwaan, maupun hukum. Mengurangi dampak buruk di masa yang akan datang juga menjadi prioritas, karena masa traumatis korban biasanya akan berkepanjangan, bahkan seringkali terbawa sampai dewasa. Pemberitaan media yang terlalu vulgar yang bahkan menyudutkan korban dan keluarganya juga harus diantisipasi dan dicegah. Yang penting dalam tindakan rehabilitative adalah selalu mendampingi dan memberikan dukungan. Mencurahkan kasih sayang serta membuatnya tetap kuat dan tabah dalam menghadapi cobaan hidupnya. Anak mesti diyakinkan bahwa hidupnya tidak berhenti di situ. Hari esok  masih panjang dan penuh dengan harapan. Tidak perlu putus asa.  Pun juga dengan keadaan negeri ini. InsyaAllah, pada saatnya akan menemukan kedamaian, kesejahteraan, (*) keadilan dan kemajuan. Wallohu a‘lam *)Penulis, Penais Kemenag Indramayu.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: