Sopir dan Korban Resmi Tersangka, Pengelola Tol Aman
CIREBON - Satlantas Polres Cirebon akhirnya menetapkan Nasa Dirga Wiguna (29) sang sopir mobil BMW maut sebagai tersangka atas kasus kecelakaan yang merenggut lima nyawa di KM 231+500 tol Kanci-Pejagan, Rabu (14/10). Menariknya, selain Nasa, polisi juga menjadikan para korban yang otomatis di dalamnya ada korban selamat, Cartilem sebagai tersangka karena memasuki jalan tol yang bisa membahayakan diri dan pengguna jalan lainnya. Sementara pengelola jalan tol aman. Kapolres Cirebon Kabupaten, AKBP Sugeng Hariyanto saat ditemui Radar di KM 231+500 Jumat (16/10) di sela-sela proses olah TKP dan rekonstruksi kasus tersebut mengatakan, setelah melakukan pemeriksaan kepada sejumlah saksi-saksi dan hasil olah TKP sementara, pihaknya kemudian berkesimpulan bahwa korban dan sopir BMW maut dinaikkan statusnya sebagai tersangka. “Tersangka pertamanya pejalan kaki, sedangkan tersangka keduanya adalah sopir,” ujarnya, Jumat (16/10). Dijelaskan Sugeng, dari hasil pemeriksaan fisik mobil BMW maut tersebut, polisi tidak menemukan gagal fungsi atau ada komponen yang error, sehingga dapat menghambat fungsi dan berakibat kepada kinerja maupun performa mobil. “Mobil dalam kondisi bagus, termasuk sopir yang setelah dites urine, tidak ditemukan adanya kandungan alkohol maupun narkotika dalam tubuhnya,” imbuhnya. Namun saat disinggung mengenai tidak adanya barikade pembatas tol sehingga warga sekitar dengan mudah dapat melintas di jalan tol tersebut, Sugeng terlihat enggan menjelaskan. Menurutnya, sampai saat ini status tersangka baru disandangkan kepada sopir dan pejalan kaki dan belum menyentuh ke pengelola tol. Sementara itu, ditemui di tempat yang sama, Kepala Pelayanan Lalulintas Tol Kanci Pejagan, Dudung A Ridwan mengatakan, pihaknya sebagai pengelola tol sudah berusaha agar peristiwa tersebut tidak terjadi. Berbagai macam cara telah ditempuh dari mulai memasang barikade penjagaan di sisi tol, maupun sosialisasi ke desa-desa agar tidak ada masyarakat yang masuk ke dalam area tol. Menurut Dudung, pada awal beroperasinya jalan tol tersebut, pihaknya sudah memasang barikade dari beton, namun beton-beton barikade tersebut dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mengambil besi konstruksi yang ada di dalam beton. “Kita selanjutnya pakai pagar barikade dari bambu yang dirangkai dengan kawat berduri, tapi tetap sama, dirusak juga. Padahal tujuan kita adalah agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi,” tuturnya. Lebih lanjut Dudung mengatakan, permintaan warga sekitar yang meminta dibuatkan jembatan penyeberangan sulit untuk direalisasikan, karena pemasangan jembatan penyeberangan hanya untuk area pemukiman bukan untuk areal persawahan dan ladang bawang. “Untuk panjang tol yang 35 KM, kita sudah pasang sekitar empat jembatan penyeberangan, untuk mengantisipasi kejadian seperti ini. Kita juga siapkan tiga unit tim patroli, semoga ini menjadi kejadian yang terakhir,” katanya. Jalan tol Kanci-Pejagan menurut Dudung, rutin diuji kelayakannya oleh badan atau lembaga yang berkompeten seperti BPJT (Badan Pengatur jalan Tol) dari mulai pengecekan bulanan, triwulanan, semester sampai pengecekan tahunan di mana hasilnya jalan Tol Kanci Pejagan layak untuk dilintasi kendaraan, baik siang ataupun malam hari. Sementara untuk kecepatan kendaraan di Tol Kanci Pejagan, minimumnya 60, maksimalnya 80 KM perjam. Setelah peristiwa tersebut, menurut Dudung, belum berpengaruh kepada trafik pengguna jalan. Terlihat dari pengguna jalan masih ada di angka normal. Dari pantauan Radar, tim Traffic Accident Analysis (TAA) Polda Jabar melakukan olah TKP untuk menemukan kecepatan kendaraan, baik sebelum terjadi benturan maupun setelah terjadi benturan. Hasilnya, nanti kesimpulan tersebut akan digunakan untuk pemberkasan kasus tersebut. Setelah tim TAA melakukan olah TKP, penyidik dari unit Laka Lantas Polres Cirebon juga menggelar rekonstruksi. Radar yang sempat bertemu dengan Kuwu Desa Hulubanteng Lor, Lukman Rifai mengatakan, akses jalan yang hendak dilalui para korban tersebut merupakan akses biasa yang sering dilalui hampir seluruh warga yang berprofesi sebagai buruh tani. Menurutnya, hanya petani yang membawa kendaraan saja yang melewati akses memutar yang lebih jauh, sementara para petani lainnya yang berjalan kaki lebih memilih melewati tol karena merupakan jalan pintas. “Jalur itu walaupun dilarang dan tidak diperbolehkan lewat, tapi harusnya pengelola bisa memfasilitasi dengan membuatkan jembatan penyeberangan karena jalur tersebut merupakan akses ekonomi warga,” tuturnya. Dikatakannya, fisik petani yang setelah bekerja di ladang, baik itu ladang bawang, padi maupun jagung, pastilah habis staminanya. Apalagi, ditambah jika harus memutar jauh, tentunya warga akan lebih memilih akses terpendek untuk sampai di rumah. “Pengelola juga harus manusiawi, terlebih warga sekitar tidak pernah menikmati keberadaan dari tol tersebut,” imbuhnya. (dri)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: