Dari Rp17,7 Juta, Sisa Rp37 Ribu

Dari Rp17,7 Juta, Sisa Rp37 Ribu

Dewan Tunjukan Slip Gaji, Ternyata Banyak yang Menggadaikan SK KEJAKSAN – Di balik besarnya pendapatan anggota dewan yang kalau ditotal sekitar Rp25 juta perbulan, terdiri dari Rp17,7 juta gaji per bulan, ditambah uang SPPD setiap kali kunjungan kerja atau studi banding, ternyata tidak semua gaji mereka terima utuh. Bahkan gaji mereka ada yang tersisa hanya puluhan ribu rupiah. Sumber Radar di lingkungan DPRD menyebutkan, gaji bulanan yang diterima anggota dewan tidak sepenuhnya utuh mereka terima. Tetapi, tidak sedikit yang menyisakan gajinya tinggal 50 persen, bahkan ada anggota dewan yang gajinya cuma tersisa Rp37 ribu. Tidak utuhnya gaji mereka itu, karena SK sebagai anggota DPRD diagunkan ke salah satu bank untuk mendapatkan dana segar. “Hampir semua anggota dewan SK-nya digadaikan dan uang tersebut ada yang digunakan untuk bayar utang pemilu hingga membangun bisnis. Apalagi tidak perlu jaminan sertifikat rumah atau tanah, tapi cukup dengan SK anggota dewan,” kata sumber terpercaya Radar yang namanya enggan dikorankan, Kamis (5/11). Salah satu anggota dewan sempat menunjukkan slip gajinya kepada Radar, yang hanya tersisa puluhan ribu rupiah, bahkan di bawah angka Rp50 ribu. Habisnya gaji Rp17,7 juta itu, disebabkan dirinya mengajukan pinjaman ke perbankan untuk keperluan bisnisnya. Karena praktis gajinya hanya tinggal puluhan ribu, maka dirinya sebagai anggota dewan hanya mengandalkan uang saku perjalanan dinas (SPPD). “Ini gaji saya tinggal segini,” ujarnya sambil menunjukkan slip gaji kepada Radar. Terpisah, Ketua Fraksi Partai Demokrat M Handarujati Kalamullah SSos membantah pendapatan dewan sebulan bisa mencapai Rp25 juta. “Tidak sampai segitulah,” elak Andru. Menurutnya, yang perlu jadi perhatian dari pendapatan dewan itu juga ada yang namanya iuran fraksi. Belum lagi dengan sistem suara terbanyak, maka anggota dewan juga mau tidak mau harus meng-cover kebutuhan konstituen. Hal tersebut juga tidak dapat dihindari. Contoh lainnya, sambung Andru, dalam hal reses anggaran pribadi yang dikeluarkan oleh anggota dewan juga tidak sedikit. “Coba dilihat dalam agenda DPRD, tidak selalu komisi dan alat kelengkapan dewan berangkat setiap bulan,” ujar Andru. Dalam rapat badan musyawarah (Banmus), lanjut Andru, bisa disesuaikan dengan agenda kerja masing-masing komisi. Kunker dilakukan jika ada hal-hal yang perlu dikonsultasikan atau dikomparasikan, apakah itu berkaitan dengan agenda komisi dan alat kelengkapan maupun dalam pansus-pansus pembahasan raperda. “Jadi rasanya kurang tepat kalau DPRD dianggap sengaja memperbanyak agenda kunjungan kerja,” tegasnya. Andru menegaskan, terkadang dengan jadwal anggota DPRD yang padat di siang hari, terkadang untuk menyelesaikan pembahasan raperda di malam hari, karena hal itu perlu dilakukan dalam rangka menggenjot target kinerja DPRD. Pemerhati sosial, Dedi Supriatno mengaku kurang setuju apabila SPPD dewan dinaikkan. Dirinya beralasan besaran gaji anggota dewan sebenarnya sudah cukup besar, tapi rencana kenaikan SPPD akan semakin membuat dewan dimanja dengan berbagai fasilitas, sedangkan gaji besar dan SPPD besar justru tidak sebanding dengan kinerja mereka selama ini. Pria yang akrab disapa Toeng ini menyesalkan kenaikan justru terjadi dalam dua tahun, seperti April 2015 dewan mendapatkan rapelan kenaikan tunjangan yakni tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan perumahan yang sangat fantastis, belum lagi kenaikan gaji pokok di tahun yang sama. Kemudian tahun 2016 mendatang pemerintah menaikkan nilai SPPD bagi anggota dewan yang melakukan kunjungan kerja (kunker). “Presiden Jokowi gembar-gembor efisiensi anggaran, tapi di era kepemimpinannya justru malah obral kenaikan tunjangan. Kalau berbicara kenaikan tunjangan berarti menguras APBN, begitu juga di daerah bakal menguras APBD,” pungkasnya. Sebelumnya, anggota DPRD Kota Cirebon Jafarudin menganggap wajar, ketika penghasilan anggota DPRD mengalami kenaikan. Sebab, kemampuan APBD Kota Cirebon mampu meng-cover penghasilan anggota DPRD. “Selama 11 tahun gaji anggota DPRD hanya di angka Rp13 juta. Artinya, tidak ada perubahan,” ujar Jafar kepada Radar, Rabu (4/11). Menurutnya, kenaikan penghasilan anggota DPRD tidak secara menyeluruh. Tapi, hanya pada dua item yakni, tunjangan perumahan yang sebelumnya di angka Rp2 juta naik menjadi Rp7 juta. Sedangkan tunjangan komunikasi yang sebelumnya Rp3 juta naik menjadi Rp5 juta. Dia mengaku, uang tersebut tidak mencukupi untuk digunakan selama satu bulan. Apalagi, mereka yang banyak menghadapi konstituen. Idealnya, pendapatan anggota DPRD itu di angka Rp20-25 juta. Bahkan, dirinya berhadap di tahun depan pemerintah daerah menaikkan gaji para wakil rakyat. Jika melihat daerah tetangga, lanjutnya, penghasilan anggota dewan hampir di angka Rp20 juta. Ketika bicara luas wilayah memang kabupaten luas dengan 40 kecamatan. Meski Kota Cirebon hanya lima kecamatan, tapi Kota Cirebon sudah masuk menjadi pusat perdagangan dan jasa. “Kondisi Kota Cirebon yang metropolitan ini harus diimbangi dengan penghasilan para wakil rakyat. Kenaikan gaji. Artinya, kenaikan gaji dari Rp13 juta ke Rp18 juta masih minim. Sedangkan kebutuhan semakin meningkat,” bebernya. Politisi Partai Hanura itu mempertanyakan ungkapan yang menyatakan bahwa gaji para wakil rakyat sangat besar. Angka tersebut, sambungnya, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebutuhan yang ada. “Mereka belum merasakan saja bagaimana menjadi anggota DPRD. Yang ada tekor,” tandasnya. (abd)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: