Kinerja Pemkot di Tahun 2015, Apa yang Dilakukan di 2016?

Kinerja Pemkot di Tahun 2015, Apa yang Dilakukan di 2016?

Masih Profit Oriented, Kita Butuh Taman Baca dan Pemerataan Pembangunan Masih banyak pekerjaan rumah. Masih banyak sektor yang perlu dibenahi. Apa yang sudah dilakukan pemerintah dan apa yang harus dilakukan ke depan? Mike Dwi Setiawati, Cirebon CIREBON adalah ruang yang membutuhkan ruang. Sebuah ruang yang dinamis untuk menyatakan pikiran-pikiran, sebuah ruang yang hidup karena terus dihidup-hidupi oleh para penghuninya. Seperti itulah kalimat dari Nissa Rengganis, salah satu penulis di Cirebon dalam sebuah artikel yang pernah dibuatnya. Menurutnya, Cirebon beberapa tahun ini nyaris tak memiliki itu semua. Semuanya seakan bergerak materialis dan serba pragmatis. Jika referensi kota budaya adalah seberapa banyak buku yang lahir dari penghuninya, seberapa banyak perpustakaan daerah atau taman baca juga ruang-ruang kreativitas yang hidup di dalamnya, maka boleh jadi kita berduka atas apa yang ada di kota ini. Masyarakat terus dikepung berita-berita politik setiap hari. \"Kita terus dikejar oleh sederet peristiwa yang mencekam. Kini, kita tengah hidup dalam dunia di mana batas tidak lagi mengenal tapal, rangkaian peristiwa yang berlalu-lalang dapat seketika mengejar lalu tertinggal,\" ujarnya. Nissa percaya, ketika ada ruang baca pada sebuah kota dengan segala keriuhan di dalamnya, ada beberapa di antara orang yang kelak menjadi mesin pengingat dalam gegap gempita ini. Tengok saja Perpustakaan 400, satu-satunya perpustakaan yang dimiliki Pemerintah Kota Cirebon dengan jumlah pengunjung yang itu-itu saja. Dengan koleksi buku yang jadul dan ruang baca yang tak nyaman bagi kalangan anak muda. Kondisi ini kemudian diperparah dengan bangkrutnya satu toko buku besar di kota budaya ini. \"Gersanglah proses kreatif kita, jika untuk mencari satu buku saja harus jauh-jauh menyeberang ke kota tetangga,\" tambahnya. Lantas apa yang bisa digali perihal Kota Cirebon tempat lahir, tumbuh besar dan mungkin beranak-pinak, jika literatur (buku) perihal Cirebon sulit diakses. Jika perpustakaan yang satu-satunya dimiliki kota ini menjadi tempat sungil bagi kalangan anak muda? Jika orang-orang lebih gemar memiliki koleksi android dan motor baru? Sementara, buku-buku sejarah hanya disimpan dalam almari penuh debu. Semakin celaka pula jika ruang-ruang yang terus dibangun di kota ini sekadar bicara soal profit oriented. \"Dan pemerintah seakan membiarkan kami semua terjebak menjadi masyarakat konsumtif tanpa daya nalar berpikir kritis,\" katanya. Ia menegaskan, Cirebon butuh tanda baca. Artinya, Cirebon harus tumbuh dan ramai dibarengi dengan lahirnya ruang-ruang baca. Nissa mengaku tidak meminta mal dengan penuh pendingin ruangan. Tidak juga meminta bangunan apartemen yang tinggi menjulang. Ia hanya meminta keseriusan pemerintah kota untuk membuka ruang baca, ruang yang dipenuhsesaki buku-buku dan sederet peristiwa kebudayaan. \"Semoga akan ada hari di mana orang-orang tengah asik membaca dan berjelajah pada sejarah yang minta untuk digali. Boleh saja ini kota jadi kota wisata. Tapi sesekali bolehkah kami memiliki wisata ilmu? Pak, percayalah buku adalah sebaik-baiknya perjalanan. Dan membaca adalah upaya setiap orang untuk menolak amnesia,\" harapnya. Tak hanya ruang baca yang minim, masih banyak PR pemerintah di sektor lainnya. Terutama dalam hal tata ruang dan lingkungan. Praktisi Hukum, Agus Prayoga mengkritisi ini. \"Di depan kantor lingkungan hidup saja masih banyak sampah, bagaimana dengan di tempat lain? Itu baru masalah sampah,\" ujarnya. Agus menilai, sudah bukan saatnya pemerintah saat ini memikirkan wakil walikota. Tapi segera bekerja dan berdayakan potensi dan tokoh cerdas Cirebon yang ada. \"Dan yang terpenting juga untuk pemerintah sekarang siapkan payung hukum, banyak \'jebakan batman\'. Harus berpikir ke depan dan bergerak karena PR masa lalu saja sudah berjibun,\" katanya. Kemudian ada kritikan lain dari Fathan Mubarak. Penggagas Rumah Kertas itu menilai, pemkot di tahun 2015 itu lagu lama kaset baru. Cirebon yang sejak dulu ditahbiskan sebagai kota usaha dan dagang, pada praktiknya hanya menguntungkan segelintir orang dengan modal raksasanya dan pada saat bersamaan, memojokkan orang-orang Cirebon agar sekadar menjadi konsumeris. Mal-mal dan swalayan, lanjutnya, tumbuh seperti jamur di atas bangkai pasar tradisional. Papan iklan dan reklame menghadang di sepanjang jalan. Tempat-tempat hiburan pun dibangun bahkan bersebelahan dengan rumah ibadah dan kawasan pendidikan. Di sisi lain, restoran-restoran asal Amerika muncul dalam peta tata ruang kota, sedang makanan-makanan tradisional dibiarkan hidup-mati di tangan pengusahanya sendiri. Di tengah pembangunan yang berlangsung edan-edanan itu, kata Fathan, kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Anehnya, Cirebon menjadi salah satu yang tak memiliki paru-paru kota. Ia sepakat bahwa kota sebagai ruang penting dari pengidentifikasian rumah besar, bukan bandar, pangkalan, atau sekadar kumpulan titik-titik transit yang tertebar di peta wisata. Tapi di Cirebon, sebagaimana banyak daerah lain sejak kali pertama rezim Soeharto berdiri, tidak pernah ada dialog tentang ethic discourse, tentang upaya perumusan paradigma pembangunan agar tahu nilai-nilai mana yang mesti dihindari atau dipatuhtaati. \"Di sini, seni budaya harusnya ambil bagian. Tapi politisi atau pemangku kebijakan mana yang ngerti kebudayaan? Kesenian pun tiba-tiba menjadi bonsai yang terpajang di halaman dinas pariwisata,\" tuturnya. Dari beberapa dasawarsa silam hingga hari ini, lanjut Fathan, Kota Cirebon belum melahirkan pemangku kebijakan yang melurus atau membengkokkan sejarah. \"2015 dan 2014 sama saja. 2016 juga saya rasa masih akan begitu,\" ucapnya. Sementara itu, seniman sekaligus akademisi Dr Junaedi Noer SE MM menilai, kinerja pemerintah di tahun 2015 sudah terlihat. Sektor perdagangan dan jasa khususnya, membantu pembangunan ekonomi di Kota Cirebon. Namun, pemerintah jangan terlena dengan hal ini. Justru, kemajuan di sektor ini jangan sampai melupakan sektor lain. \"Harus memperhatikan juga tentang tata ruang, lingkungan, jangan mencari keuntungan saja tapi perhatikan juga sekitarnya,\" sarannya. Junaedi berharap, permasalahan yang ada bisa terselesaikan di tahun 2016. Misalnya, masalah wakil walikota. Ia menilai, pemerintah sebaiknya tak hanya fokus pada internal saja, tapi juga peka terhadap kondisi masyarakatnya. \"Arahkan pembangunan di kawasan selatan, karena masih banyak yang tertinggal di sana. Fokus pembangunan jangan hanya di pusat kota, tapi menyeluruh agar pembangunan merata,\" harapnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: