Uni Eropa Rumuskan Sanksi Baru

Uni Eropa Rumuskan Sanksi Baru

Rusia dan Tiongkok : Krisis Syria adalah Masalah Dalam Negeri DAMASKUS - Kekerasan dan krisis politik di Syria terus berlanjut kemarin (27/2). Sehari pasca-referendum soal konstitusi baru, artileri berat kembali menggempur Homs, kota terbesar ketiga di Syria yang terletak sekitar 162 kilometer utara Damaskus. Bersamaan dengan itu, Uni Eropa (UE) sepakat untuk kembali menjatuhkan sanksi tegas atas rezim Presiden Bashar al-Assad. Kemarin para menteri luar negeri dari 27 negara anggota UE merumuskan sanksi baru untuk rezim Assad. Antara lain, pembekuan aset bank sentral, pembatasan perdagangan emas, dan larangan bepergian bagi tujuh kroni Assad. UE juga melarang pesawat kargo Syria mengudara di wilayahnya. “Kami harap sanksi itu akan membuat pemerintah kian tersudut dan akhirnya bersedia menghentikan kekerasan,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris William Hague. Saat ini, lanjut dia, UE tak akan membahas opsi yang berhubungan dengan aksi militer. Di Jenewa, negara-negara Eropa malah mengusulkan agar mereka yang melakukan kekerasan di Syria segera dimejahijaukan Aktivis oposisi Mohammed al-Homsi serangan intensif terjadi di Khalidiya, Ashira, Bayada, Baba Amr (keempatnya kawasan di Kota Homs) dan kota tua (Aleppo) sejak pagi buta. Tidak hanya tank, serangan kemarin juga melibatkan pasukan tempur. Tentara pro-Assad menyisir jalanan kota dan melepaskan tembakan ke segala arah. Serangan itu pun merenggut nyawa sedikitnya dua orang. Sementara itu, kemarin Palang Merah Internasional (IRC) kembali gagal membujuk semua pihak yang bertikai di Syria agar menghentikan serangan. Gencatan senjata harian yang diusulkan organisasi kemanusiaan tersebut pun tak terwujud. Karena itu, evakuasi para korban luka serta anak-anak dan kaum perempuan dari Kota Homs kembali tertunda. Padahal, kondisi kota di barat Syria tersebut semakin memprihatinkan. Jika masyarakat internasional tak segera bertindak, korban sipil di sana maupun kota-kota lain di Syria akan terus berjatuhan. Sebab, berdalih memerangi kelompok teroris, pasukan Assad tidak mengendurkan serangan. Sejauh ini, dunia internasional terbelah dalam menyikapi krisis di Syria. Rusia dan Tiongkok menegaskan bahwa krisis Syria yang sudah berjalan selama hampir setahun itu merupakan masalah dalam negeri. “Saya sangat berharap Amerika Serikat (AS) dan sekutunya tak berusaha mencari celah untuk melancarkan aksi militer di Syria tanpa restu Dewan Keamanan (DK) PBB,” komentar Perdana Menteri (PM) Rusia Vladimir Putin. Namun, AS dan UE masih membuka segala opsi untuk menghentikan kekerasan di Syria. Sempat ada gagasan untuk mempersenjatai oposisi. Dalam perkembangan lain, referendum soal konstitusi baru pada Minggu lalu (26/2) bakal kembali memperkokoh posisi Assad sebagai presiden. Selain reformasi sistem kepartaian, konstitusi juga akan mengalami perubahan yang berpotensi menambah masa jabatan presiden. Malah Assad bisa jadi akan tetap duduk di kursi presiden sampai 2028. Jika amandemen disepakati, masa jabatan yang lalu tak akan diperhitungkan lagi. Dengan begitu, Assad yang masa jabatannya bakal berakhir pada 2014 bisa mencalonkan diri lagi selama dua periode. Setiap periode ditetapkan tujuh tahun. Alhasil, pemimpin 46 tahun itu berhak kembali mencalonkan diri dua kali berturut-turut dan bertahan di kursi presiden sampai 2028. Referendum ketiga di Syria sejak Assad berkuasa pada 2000 itu diyakini bakal memberikan kemenangan kepada pemerintah. Seperti dua referendum sebelumnya, rezim Assad akan kembali menuai dukungan maksimal. Dua referendum sebelumnya memberikan kemenangan sekitar 97 persen pada pemerintah. Tapi, referendum kali ini justru diboikot oposisi dan dikecam dunia internasional.(AP/AFP/RTR/hep/dwi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: