Pada Gerhana 1983, Indonesia Jadi Tertawaan Dunia
Agustinus Gunawan Admiranto bersyukur ada perubahan cara pandang pemerintah dan masyarakat dalam gerhana matahari total tahun ini. Pancing minat anak muda terhadap gerhana dengan berkeliling dari sekolah ke sekolah. ARISKI PRASETYO HADI, Parigi Moutong SUDAH lewat lebih dari tiga dekade. Tapi, tiap kali mengenang gerhana matahari total pada 1983, Agustinus Gunawan Admiranto selalu tak kuasa menahan senyum. “Bisa dibilang kita jadi tertawaan dunia saat itu,” kata peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tersebut. Di sebuah homestay di Parigi Moutong, tempat dia bertemu Jawa Pos (Radar Cirebon Group) Selasa lalu (8/3) itu, kelelahan Gunawan sebenarnya belum hilang betul. Badannya masih dibungkus kemeja biru lengan panjang dipadu dengan celana kain hitam. Kulitnya terlihat hitam tersengat sinar matahari. “Saya barusan pulang memberi materi tentang GMT (gerhana matahari total, red) di SMPN 2 Parigi Moutong,’’ ucap pria berbadan kurus tersebut. Tapi, selelah apa pun pria 55 tahun itu, gerhana memang selalu membuat semangatnya menyala. Posisinya pun istimewa di kalangan peneliti gerhana. Baik di tim Lapan yang diterjunkan di Parigi Moutong maupun tim yang dibentuk lembaga lain. Semua karena jam terbangnya. Sebab, saat GMT mampir di Indonesia 33 tahun silam tersebut, dia sudah ikut meneliti. Karena itu, memori lebih dari tiga dekade tersebut dengan gampang dikonstruksinya kembali. Jadilah sebuah cerita runtun tentang sebuah negeri yang memperlakukan fenomena alam langka dengan penuh kekonyolan. Pada GMT 1983 itu, ada empat kota di Indonesia yang dilintasi. Yaitu, Pangandaran, Jawa Barat; Cepu, Jawa Tengah; Lamongan, Jawa Timur; serta Makassar, Sulawesi Selatan. Sayang, kenang Gunawan, pemerintah terlalu khawatir. Lewat media massa, mereka mengimbau keras jangan ada yang melihat gerhana. Alasannya: bisa merusak penglihatan. Padahal, lanjut alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, tidak ada korelasi antara melihat GMT dan kebutaan. “Bahkan, ada kepala kebun binatang di salah satu kota yang menutup kandang binatang dengan kain. Khawatir hewan-hewan akan buta melihat gerhana,” terangnya, lantas tertawa. Ketika itu, Gunawan masih mahasiswa semester enam jurusan astronomi di ITB. Dia mengaku sangat beruntung bisa tergabung dalam tim peneliti ITB yang dibentuk dosennya. Tim tersebut akhirnya memilih meneliti di Cepu. “Cepu kami pilih karena mudah diakses,’’ kata pria yang sehari-hari tinggal di Bandung itu. Pengalaman tersebut mendudukkan Gunawan dalam posisi istimewa. Dalam tim yang diterjunkan Lapan di Parigi Moutong untuk memantau GMT pagi kemerin, dia satu-satunya yang turut meneliti GMT 1983. Membandingkan dengan yang dialaminya pada 1983, Gunawan mengaku bersyukur bahwa perilaku orang terhadap GMT berubah. Kalau dulu demikian takut, sekarang demikian bergairah. Di 11 kota yang dilintasi GMT, termasuk Parigi Moutong yang terletak 60 kilometer dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, pemerintah setempat menyambut dengan berbagai perayaan. Wisatawan, baik asing maupun domestik, juga berdatangan. Yang juga berbeda tentu saja peralatan. Yang diboyongnya ke Parigi Moutong saat ini tergolong sangat lengkap dan canggih. Salah satunya teleskop ekuatorial. Benda yang berfungsi untuk melihat benda langit itu bisa mengikuti gerakan matahari secara otomatis sehingga tidak perlu operator yang menggerakkannya. Yang kedua adalah laptop. Gambar yang ditangkap dari teleskop bisa langsung terhubung ke laptop. Dengan demikian, peneliti dengan gampang melihat kejadian yang ada di matahari. “Sehingga semua proses GMT bisa direkam dan diabadikan,’’ jelasnya. Pada 1983 tim hanya berbekal dua alat. Yaitu, teleskop tipe celestrone yang ditempeli kamera film, bukan kamera digital. Teleskop celestrone tersebut bekerja secara manual. Jadilah operator harus membidik terus-menerus posisi matahari, sedangkan kamera film digunakan untuk mengabadikan gerak-gerik sang surya. Setiap 5 menit petugas selalu memotret. Sungguh menguras keringat. Beruntung kerja keras tersebut berbuah manis. Saat itu tim berhasil mendapatkan gambar GMT yang jelas. Gunawan mengaku, hasil penelitian itu langsung disimpan si dosen. Tapi, bagi Gunawan, tetap saja yang tak terlupakan dari GMT 1983 adalah kekonyolan kebijakan rezim yang berkuasa. “Kalangan kampus sebenarnya sudah berjuang meyakinkan bahwa GMT itu aman dilihat,’’ tuturnya. Tentu asal caranya benar. “Misalnya, menggunakan kacamata khusus yang antiradiasi matahari. Namun, pemerintah tetap jadi pemenangnya,’’ ujarnya. Alhasil, partisipasi warga dalam GMT 1983 sangat minim. Di Cepu, Gunawan mengaku, pihaknya memang berhasil mengajak warga untuk melihat gerhana. Tapi, jumlahnya sangat terbatas. Kesalahpahaman itulah yang berupaya dicegah Lapan agar tidak sampai terulang. Karena itu, selain meneliti, tim di Parigi Moutong dipercaya memberikan sosialisasi kepada anak-anak sekolah. Kegiatan serupa dilakukan berbagai komunitas astronomi yang melakukan pengamatan di kawasan lain. Tujuannya, memancing kemauan serta minat siswa untuk melakukan pengamatan ketika GMT. ’’Dan yang paling penting agar kejadian tahun 1983 tidak terulang kembali,’’ tegasnya. Satu per satu sekolah di Parigi Moutong dimasuki Gunawan dan dua koleganya. Di setiap sekolah dia menggelar tanya jawab. Gunawan mengakui, masih banyak siswa yang belum sepenuhnya paham apa itu GMT. Hal tersebut, kata dia, terbukti lewat berbagai pertanyaan yang mereka ajukan. Misalnya, apakah boleh melihat gerhana dan berapa tahun gerhana matahari total akan terulang. Tapi, bagaimanapun, Gunawan tetap puas akan tingginya keingintahuan para siswa. Sebab, dari sana kelak mereka paham mengapa GMT merupakan peristiwa yang sangat layak diamati dan dipelajari. Misalnya, terkait dengan korona atau lapisan terluar matahari. ’’Banyak yang menyebutkan bahwa lapisan itu lebih panas dari permukaan matahari yang panasnya mencapai 6.000 derajat Celsius. Rahasia itulah yang akan dikejar para peneliti gerhana,’’ ujarnya. (*/c5/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: