Sudah Jarang Warga Kuningan yang Mau ke Sawah
KUNINGAN – Soal angka pengangguran yang tinggi, memantik para wakil rakyat untuk mengemukakan tanggapannya. Salah satunya mengatakan, sumber daya alam yang dimiliki Kuningan kurang bisa digali untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Tak heran jika masyarakat berbondong-bondong urban ke ibukota atau kota lainnya. “Mereka rela jadi gembel di luar, karena kampungnya tidak menjanjikan lapangan pekerjaan. Ya itu, karena sumber daya alamnya. Orang tuanya juga sudah bangga ketika anak-anaknya lulus SMA dan menyuruhnya untuk berusaha di luar kota. Banyak yang seperti itu, apalagi di daerah pinggiran,” ungkap politisi asal Golkar, A Rusdiana SIP. Mantan Kuwu Cipedes Kecamatan Ciniru ini mengatakan, lahan-lahan pertanian hanya berada di sekitar kawasan gunung saja. Sedangkan untuk daerah-daerah pinggiran, sektor tersebut tidak menjanjikan. Itu bisa dilihat seperti di Kecamatan Ciniru, Cibingbin dan lainnya. “Di Cipedes, kami pernah mencoba menanam lahan tidur dengan pohon karet. Ternyata tidak jadi. Sawit juga begitu. Sedangkan untuk dijadikan lahan pertanian, kurang ketersediaan air,” kata Rusdiana. Dia merasa prihatin, saat ini banyak tanah nganggur yang tidak diolah. Salah satu penyebabnya, masyarakat terninabobokan oleh beras raskin. Ketimbang menanam, mereka berpikiran lebih baik membeli raskin. “Selain itu, mereka malas menanam karena ketersediaan air irigasi. Kami pernah berencana untuk menanam di lahan seluas 150 hektare. Kami ajukan ke eksekutif untuk irigasinya. Tapi ternyata, sudah empat tahun tidak direspons,” ketusnya. Rusdiana melanjutkan, potensi wisata pun, menurut dia, kecil lantaran tidak begitu banyak menyerap lapangan pekerjaan. Terlebih industri, Kuningan sudah dicanangkan sebagai kabupaten konservasi. Mereka lebih memilih untuk merantau ke luar kota. “Sebenarnya masyarakat Kuningan itu royal-royal. Saya memperkirakan 10 tahun ke depan Kuningan akan menjadi kota setengah metropolitan. Karena karakteristiknya pengen instan. Apa-apa pengennya beli. Nggak mau tanam cabe, misalnya,” kata dia. Semuanya itu, imbuh Rusdiana, harus menjadi bahan kajian semua pihak, terutama eksekutif dan legislatif. Bagaimana menyikapi potensi alam yang dimiliki untuk menyerap lapangan kerja ketika disandingkan dengan konservasi. Harus seperti apa pembinaan terhadap kelompok tani, berikut para pemuda yang tergabung dalam karang taruna. “Kelompok tani saya kira pembinaannya kurang. Karang Taruna juga, seperti di Ciniru, katanya juara nasional tapi kenyataannya nol besar. Nggak ada bantuan untuk mereka. Padahal kalau saya boleh usulkan, mestinya bisa diupayakan mesin pembakar sampah, di mana abunya itu bisa dijadikan batako. Di samping bisa mengatasi masalah sampah juga bisa menyerap lapangan kerja,” ujar Rusdiana. Kendati demikian, dia masih merasa ragu terhadap validitas data pengangguran yang mencapai 32.118 orang. Sebab kenyataan di lapangan, banyak perantau sukses di luar kota. Rumah-rumah mereka pun permanen, jarang ditemukan berumah jelek. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: