[Cerita Pilu dari Kuningan] Kedua Ortunya Meninggal Karena Aids, Kini Giliran Anaknya Tak Tertolong

[Cerita Pilu dari Kuningan] Kedua Ortunya Meninggal Karena Aids, Kini Giliran Anaknya Tak Tertolong

KUNINGAN - Kasus narkoba dan HIV/AIDS seolah saling berkejaran. Bersamaan dengan maraknya kasus narkoba, sebanyak delapan warga Kuningan meninggal akibat terjangkit virus HIV/AIDS. Angka kematian warga Kota Kuda akibat penyakit tersebut dibeberkan Rumah Rampak Polah Kuningan. Yaitu sebuah komunitas peduli HIV/AIDS Kuningan. “Jumlah delapan warga meninggal akibat HIV/AIDS itu yang kita ketahui dari kurun waktu Januari hingga Februari 2016. Yang tidak kita ketahui nggak tahu berapa jumlahnya,” ungkap Koordinator Rumah Rampak Polah Kuningan, Sri Laelasari, kemarin. Sri tidak mau menyebutkan identitas maupun alamat detail kedelapan warga yang meninggal akibat serangan mematikan virus AIDS. Tapi secara umum, Sri menyebutkan satu per satu. Mereka adalah satu pria, dua ibu rumah tangga, satu anak usia empat tahun termasuk kedua orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu tahun lalu akibat kasus serupa. Ada juga satu anak usia lima tahun meninggal akibat HIV/AIDS. Menyusul seorang ibu rumah tangga, satu pria di Desa Pasayangan dan satu pria di Desa Cibingbin. “Yang meninggal pria maupun wanita rata-rata di bawah 40 tahun. Sisanya anak balita,” terang Sri. Sebab itu, dia meminta ketentuan Peraturan Daerah (Perda) HIV/AIDS, di mana pasangan pranikah yang akan menuju pelaminan harus tes HIV dulu, dijalankan oleh pemerintah. Alasannya banyak terbukti, banyak balita positif HIV akibat tertular otomatis dari ibu atau ayahnya yang terlebih dahulu positif HIV/AIDS. Hampir seluruh kisah kasus korban meninggal akibat HIV/AIDS, juga sangat miris. Kalau mendengar kisahnya hati pasti terenyuh. Tidak sedikit para korban berasal dari kalangan ekonomi lemah. Jadi saat akan berobat, tidak punya biaya. Untuk ongkos ke rumah sakit sekalipun, mereka tidak punya uang. “Ada ibu rumah tangga positif HIV/AIDS sampai dibuang oleh suaminya. Dititipkan di travel. Anaknya sendiri dibawa kabur suami. Ada juga ibu-bapaknya sudah meninggal, anaknya yang positif HIV diasuh oleh neneknya sampai meninggal juga. Masih banyak kisah memilukan lain,” ungkap dia. Setelah turun ke lapangan dan berkomunikasi dengan penderita, sebenarnya mereka tidak semata ingin diobati secara medis, tetapi lebih ingin dirangkul, disentuh dan diperhatikan. “Itulah metode sebenarnya yang efektif menurut kami setelah turun ke lapangan,” ucap Sri. Tetapi, dia bersyukur kini sudah ada 80 hingga 90 penderita yang aktif berobat rutin ke klinik. Dari sisi penanganan sejak adanya Perda, LSM peduli HIV/AIDS dan pemerintah sudah sinergis. Tapi tupoksinya yang masih tercecer. Penderita kalangan ekonomi lemah, mestinya menjadi prioritas perhatian. Sebab jangankan untuk berobat, untuk ongkos berobat saja mereka kesulitan. Akibatnya terjadi kekhawatiran besar darinya mereka menularkan kembali ke orang lain. (tat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: