Konsisten Gunakan Pewarna Alami, Dituduh Gila, Kini Menjadi Perhatian Banyak Pihak

Konsisten Gunakan Pewarna Alami, Dituduh Gila, Kini Menjadi Perhatian Banyak Pihak

SAAT orang mencibir terhadap hasil karya kita, jadikanlah sebagai pelecut dan motivasi untuk terus berkembang. Itulah pula yang dialami Muasshomah bersama suaminya, Muhammd Suja’i (40) dalam menjalankan usahanya. Dengan bersungguh-sungguh, istikomah dan keyakinan yang kuat, yang semula sebagai bahan cibiran saat ini hasil karya itu dapat bermanfaat, tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga tapi juga lingkungan sekitarnya. Pengusaha UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) yang bergerak dalam bidang batik tulis ini telah menjadikan Ciwaringin sebagai sentral batik dengan pewarnaan alami, yang cukup terkenal. Padahal, saat awal merintis penggunaan bahan alami untuk mewarnai batik, banyak orang yang mencibir dan menganggap gila terhadap pasangan suami istri yang kini dikaruniai tiga orang anak ini. Karena dengan pewarna alami, batik yang mestinya terlihat bagus, menjadi kusam karena warnanya memang tidak ngejreng. “Ya waktu itu orang-orang menuduh kami gila, membatik dengan warna alami dari tumbuh-tumbuhan. Tapi, kami yakin masyarakat akan mengikuti. Dan terbukti sekarang banyak yang menerapkannya,” ujar Suja’i dan Muasshomah kepada Radar saat berlibur gratis di Hotel Aston Cirebon, Sabtu (9/4). Diceritakan, pertama kali mengenal pewarnaan alami pada batik, diperolehnya dari sejumlah pelatihan yang diselenggarakan pihak Jerman. Ada beberapa pengrajin/pengusaha UMKM batik yang mengikuti pelatihan tersebut. Usai pelatihan, nampaknya sebagian pengrajin dari beberapa sentral batik masih setengah-setengah dalam menerapkan pewarnaan alami. Tapi justru Suja’i dan Muasshomah berusaha konsisten untuk menggunakan warna alami. Diakui, pewarnaan alami pada batik memang tidak efisien, karena prosesnya membutuhkan waktu yang lama dan tentu biaya produksinya tinggi. Mungkin karena itulah kalangan pembatik kurang tertarik menggunakan pewarnaan alami. “Kami ingin berbeda. Kalau pembatik yang lain kembali menggunakan pewarna kimia yang tidak ramah lingkungan, kami tetap konsisten menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan,” katanya. Mereka pun sedikit membagi pengetahuan tentang pewarnaan alami pada batik. Tumbuh-tumbuhan yang bisa menghasilkan warna bisa dari daunnya, batang atau kayu, kulit buat atau biji. Misalkan serabut kelapa bisa menghasilkan warna coklat atau marun, daun mangga untuk warna hijau, kalau warna kuning bisa dihasilkan dari kayu nangka, dan putri malu. Ada juga penggunaan kulit buah rambutan, kayu merah, kayu mahoni dan sebagainya. Untuk memperkuat warna, bisa menggunakan tiga bahan ini, yakni tawas, kapur dan tunjung, yang disesuaikan dengan jenis warnanya. Berkat konsisten dalam menggunakan warna alami pada batik yang diproduksinya, kini usahanya mendapat perhatian dan binaan dari pemerintah, BUMN, bahwa kalangan swasta. Para pengrajin batik di Kebon Gedang Ciwaringin Cirebon pun ramai-ramai mengikuti langkahnya dalam menggunakan warna alami. Pengrajin batik yang didominasi kaum hawa di daerah tersebut, dihimpun oleh Muasshomah dan terbentuklah Koperasi Batik Ciwaringin. Saat ini koperasi yang beranggotakan 69 perempuan itu, tak hanya telah memiliki kantor tapi juga showroom untuk memajang sebagian produk batik hasil karya para anggota. Ada pula yang dipasarkan keluar kota dan masuk ke Pasar Batik Trusmi. “Showroom Batik Ciwaringin itu bantuan dari Bank Indonesia (BI) pada tahun 2015 senilai Rp261.500.000. Para anggota tentu sangat senang, meskipun kami harus menyiapkan lahannya terlebih dahulu,” ujarnya. Diakuinya, pihak BI menjadikan Koperasi Batik Ciwaringin sebagai mitra, dengan melibatkannya mengikuti studi banding ke Bali. Bahkan beberapa kementerian juga mengikutsertakannya pada program pembinaan UMKM, pameran di Medan, Surabaya, Malang dan event lainnya. “Kami juga pernah diundang kementerian untuk mengikuti pameran di Aston Cirebon ini,” imbuhnya. (san)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: