Terpuruk karena BBM, Disanjung saat BLT

Terpuruk karena BBM, Disanjung saat BLT

Survei LSI Soal Citra SBY dan Demokrat JAKARTA-Persoalan kebijakan menaikkan harga BBM sekaligus kompensasinya bukan semata-mata urusan teknis ekonomi, atau sekadar masalah energi dan sumber daya mineral. Namun, ada faktor electoral partai-partai yang ikut menyertai. Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA terakhir mengungkapkan, kebijakan publik soal BBM dan BLT (bantuan langsung tunai) sangat berkaitan dengan politik pencitraan. “Sulit membayangkan SBY atau Demokrat menaikkan harga BBM tanpa disertai paket BLT,” ujar peneliti Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfaraby, saat merilis hasil survei lembaganya di kantornya di Jakarta, kemarin (11/3). Dalam survei terakhir yang dilakukan LSI, publik yang menolak harga BBM dinaikkan mencapai 86,6 persen. Sedangkan masyarakat yang setuju hanya 11,26 persen. Sisanya, 2,14 persen, tidak tahu/tidak mau menjawab. “Dalam sejarah kebijakan publik, tak ada kebijakan publik lain yang mendapat perlawanan masyarakat sebesar naiknya harga BBM,” ujar Adjie. LSI sempat merekam persepsi publik menjelang kenaikan harga BBM, kali ini merupakan yang ketiga. Pada 2005, sebanyak 82,3 persen publik menyatakan tidak setuju. Pada 2008, penolakan masyarakat sebesar 75,1 persen. Tingginya persentase penolakan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu merata di hampir semua segmen. Mulai jenis kelamin, domisili desa atau kota, tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan, hingga pemilih partai, semua mayoritas menentang kebijakan tersebut. Angkanya beragam, mulai 67 persen hingga 95 persen. Lantas, siapa yang paling disalahkan dengan adanya kebijakan tersebut? Presiden SBY menjadi pihak yang paling disalahkan. Yaitu, sebanyak 34,06 persen. Menyusul kemudian, DPR (30,79 persen), menteri ESDM (17,71 persen), dan pihak lainnya (3,54 persen). Responden yang menyatakan tidak tahu/tidak mau menjawab sebesar 13,90 persen. Untuk tingkat partai, Demokrat dianggap paling bersalah. Partai yang didirikan SBY itu dianggap bersalah oleh 54,27 persen publik. Hanya 11,57 persen yang menuding kesalahan partai lain di luar Demokrat. Sedangkan yang menjawab tidak tahu/tidak mau menjawab sebanyak 34,16 persen. “Demokrat menjadi tumpuan kemarahan publik,” tandas Adjie. Meski demikian, lanjut dia, kemarahan publik itu ternyata ada penangkalnya. Persetujuan publik terhadap program BLT juga cukup besar. Publik yang setuju sebanyak 69,64 persen. Sedangkan mereka yang tidak setuju 28,69 persen dan yang tidak tahu/tidak mau menjawab 1,67 persen. Sama halnya dengan penolakan atas kenaikan harga BBM, segmentasi persetujuan terhadap pemberian BLT juga merata. Berkisar 40 persen hingga 85 persen. “Termasuk kalangan wong cilik yang kerap diidentikkan sebagai pemilih partai oposisi PDIP,” ujar Adjie. Sedangkan pihak yang dianggap publik paling berjasa atas penerapan program tersebut adalah Presiden SBY sebanyak 53,74 persen. Menyusul berturut-turut Menko perekonomian (19,25 persen), menteri ESDM (3,45 persen), Menko Kesra (1,72 persen), dan lainnya (5,75 persen). Mereka yang menyatakan tidak tahu/tidak mau menjawab sebanyak 16,09 persen. Untuk konteks partai, parpol yang dianggap paling berjasa atas program pemberian BLT itu juga sama halnya dengan partai yang dianggap paling bersalah atas kebijakan menaikkan harga BBM. Yaitu, Partai Demokrat (54,36 persen). “Di sini, Demokrat maupun SBY ikut mendapat durian runtuh dari program ini. Mereka dicerca karena menaikkan harga BBM, tapi disanjung karena BLT,” tandas Adjie. Survei ini melibatkan 440 responden yang dipilih secara random dari seluruh Indonesia yang dilakukan pada 5?8 Maret 2012 dengan menggunakan inovasi melalui quick poll. Berbeda dengan survei ponsel atau survei telepon biasa, quick poll memanfaatkan handset yang khusus dititipkan LSI kepada responden. Handset tersebut sudah diprogram untuk menjawab survei tertulis. “Ini terobosan baru kami, sesuai dengan slogan quick poll LSI bahwa peristiwa hari ini, surveinya dapat diketahui hari ini juga,” tutur Adjie. Margin of error surveinya adalah 4,8 persen. Menanggapi hasil survei tersebut, Wasekjen DPP Partai Demokrat Ramadhan Pohan merasa survei yang dilakukan LSI pimpinan Denny JA itu agak ganjil. “Survei ini terlalu prematur dan disorientasi. Sebab, harga BBM saja belum diumumkan naik,” kata Ramadhan. Terkait BLT, dia menyatakan bahwa pemberian kompensasi atas kenaikan harga BBM itu merupakan sesuatu yang wajar. Menurut dia, adanya program tersebut menjadi bukti betapa pemerintahan SBY konsisten membantu rakyat. “Bandingkan saja. Era  pemerintahan lalu, berkali-kali naikin BBM, tidak ada kompensasi untuk bantu rakyat, beda dengan SBY. Rakyat tetap menjadi titik prioritas,” imbuhnya. Secara terpisah, Wasekjen DPP PDIP Hasto Kristianto menyampaikan, SBY memang “mengimpor” strategi yang dijalankan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra ketika berupaya mempertahankan kekuasaan. Dengan mengutip analisis yang pernah diungkap Indonesianis asal Jerman Marcus Mietzner, Hasto menyebut, sepanjang Juni 2008 hingga Februari 2009, pemerintahan SBY aktif menggelontorkan berbagai program “pro rakyat” melalui APBN. (dyn/c4/pri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: