Napi Kasus Korupsi Bisa Edan di Tahanan

Napi Kasus Korupsi Bisa Edan di Tahanan

JAKARTA- Sejumlah opsi mengurai problematika pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terus dilakukan Kementerian Hukum dan HAM. Pembangunan penjara akan menjadi solusi jangka panjang. Sementara untuk shortcut-nya dipilih merevisi peraturan pemerintah (PP) 99/2012 yang mengatur pengetatan remisi. Apapun opsi yang bakal diambil, pelaksanaannya tentu tak mudah. Misalnya pembangunan lapas baru yang kini dananya telah disiapkan sebesar Rp1 triliun. Dana sebanyak itu untuk membangun tiga lapas di wilayah Jakarta, Medan, dan Pulau Nusakambangan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan uang tersebut sifatnya dana mendesak untuk mengatasi masalah yang krusial. “Uang kita terbatas untuk jadi tidak bisa membangun sekalian di banyak tempat,” kata Yasonna usai memimpin teleconference dengan para Kepala Lapas se-Indonesia, kemarin. Pembangunan tiga lapas itu telah melalui kajian. Termasuk melihat over kapasitas penjara di wilayah itu beserta tingkat kriminalitasnya. Lapas baru di Medan, Jakarta, dan Nusakambangan itu nantinya dimanfaatan untuk program redistribusi napi. Para narapidana di lapas di sekitar Jakarta, Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur akan menempati lapas-lapas baru tersebut. “Jawa Timur kan banyak yang overload. Nanti kita pindahkan ke lapas yang baru di Nusakambangan,” ucapnya. Dia berharap tiap tahun Kemenkum HAM mendapatkan anggaran untuk menambah lapas baru atau memperluas lapas yang ada. Sehingga redistribusi napi di banyak tempat bisa dilakukan dengan baik. “Tapi menambah lapas itu juga bukan solusi yang kuat. Harus diikuti program lain juga,” kata politisi PDIP itu. Menurut dia, percepatan narapidana berbaur ke masyarakat juga perlu dilakukan. Baik melalui pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat. “Misalnya orang dihukum empat tahun, sudah menjalani dua tahun. Mendapatkan remisi sedikit-sedikit kan tidak apa-apa,” jelasnya. Hal itu menurut dia perlu, terutama untuk narapidana narkoba yang bukan berstatus bandar. Oleh karena itu, Yasonna tetap akan mendorong revisi PP No 99/2012. Yasonna menilai PP yang dibuat pendahulunya itu bertentangan dengan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam UU itu, setiap warga binaan atau narapidana memang berhak mendapatkan remisi. Sementara dalam PP 99/2012, narapidana kasus terorisme, narkoba dan korupsi pemberian remisinya diperketat. Misalnya mereka tak bisa mendapatkan remisi jika tak memperoleh status justice collaborator (JC) dari penegak hukum. PP itu sendiri diinisiasi mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Semangatnya saat itu untuk memberikan efek jera agar orang tak menyalagunakan narkoba, melakukan korupsi dan tindakan teror. Rencana revisi PP itu selama ini menimbulkan resistensi di kalangan penggiat anti korupsi. Mereka khawatir sejumlah koruptor menjadi penumpang gelap revisi PP yang berlaku sejak Desember 2012 itu. “Saya paham itu, makanya yang selama ini ngajak berantem ayo duduk bersama. Mari mendiskusikan ini, saya akan paparkan efek dari aturan itu terhadap kondisi lapas kita,” kata Yasona. Yasonna mengaku akan tetap memperhatikan pengecualian extra ordinary crime dalam merevisi PP tersebut. Namun menurut dia harus ada klasifikasi kapan orang layak diberi remisi dan kapan tidak. Dia mencontohkan ada banyak narapidana kasus narkoba yang statusnya hanya pengguna dengan barang bukti alat pakai. Hanya karena PP 99 berlaku, orang tersebut tidak mendapatkan remisi. Padahal pembinaan di lapas telah diikuti semua. “Bisa sakit jiwa yang begituan kalau tidak diberi remisi. Mereka melakukan kejahatan itu karena produk sosial, bukan iblis yang tiba-tiba ada di tengah masyarakat,\'\' tegas Yasonna. Sementara mantan pimpinan KPK sekaligus ahli hukum pidana, Indriyanto Seno Adji mengatakan penyelesaian persoalan over kapasitas tergantung kebijakan dari pemerintah. Dia melihat PP 99 memang kerap menimbukan kericuhan di lapas karena napi merasakan mendapatkan diskriminasi. “Diskriminasi kebijakan baik terhadap pelaku, proses pemidanaan dan jenis delik memang tidak dibenarkan,” katanya. Namun Indriyanto memberikan catatan, revisi harus mengatur persyaratan yang lebih ketat. Tujuannya agar pemberian remisi tak mudah dimainkan. (gun/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: