Anra Nosa, Bintara Polri yang Sukses Pimpin Dua Jenderal dari Negara Lain

Anra Nosa, Bintara Polri yang Sukses Pimpin Dua Jenderal dari Negara Lain

Anra Nosa berhasil “menaklukkan” para jenderal dan perwira menengah yang menjadi anak buahnya dengan pandai-pandai menempatkan diri. Dipercaya jadi team leader setelah berhasil mengatasi demonstrasi besar. Laporan: Gunawan Sutanto, Jakarta MEDIASI yang berjalan lancar itu akhirnya selesai. Para kepala suku yang semula bersitegang sepakat untuk mengakhiri perkelahian di area pengungsian. Satu per satu meninggalkan markas United Nations (UN/PBB) Police di Juba, Sudan Selatan, itu. Kecuali seorang kepala suku yang justru memilih menghampiri Anra Nosa. “Maukah kamu menjadi menantu saya?” tanyanya dengan mimik serius. Polisi berpangkat bripka tersebut tentu saja kaget. Dia meyakinkan si kepala suku bahwa dirinya telah menikah. “Tapi, dia tidak peduli dan terus merayu saya agar mau menjadi menantunya,” kenang penyidik Ditreskrimum Polda Riau itu. Rupanya, kepala suku tersebut kepincut dengan pendekatan humanis Anra selama proses mediasi yang berlangsung pada bulan Januari lalu itu. Akhirnya, setelah terus diyakinkan, si kepala suku bisa menerima bahwa bintara 33 tahun tersebut telah memiliki istri di Indonesia. “Padahal, yang saya lakukan itu ya biasa saja kalau di Indonesia,” kenang Anra yang saat ini masih berada di Juba dalam perbincangan dengan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) via aplikasi chatting. Menurut Anra, dirinya memperlakukan para pengungsi itu bak tamu di rumah sendiri. Minuman dan makanan ringan dia suguhkan dengan wajah semringah. Sembari menanamkan pengertian kepada para kepala suku agar mengakhiri ketegangan. Mungkin memang terlihat biasa di Indonesia. Tapi, di tengah kecamuk konflik horizontal di Sudan Selatan, negeri yang baru pada 2011 memisahkan diri dari Sudan, keramahan Anra itu rupanya begitu membekas. Kinerja apik itu pulalah yang membuat Anra mendapat kepercayaan besar selama bertugas di UN Police: menjadi team leader. Untuk seorang bintara, jabatan sebagai pemimpin tim itu istimewa. Sebab, dengan posisi tersebut, Anra yang bertugas di Sudan Selatan sejak Agustus 2014 memimpin dua jenderal polisi serta belasan perwira menengah (pamen) dari negara lain. “Saya juga tak menyangka dipercaya menjadi team leader di UNMISS (United Nations Mission In South Sudan),” ucapnya. Jabatan team leader dalam UNMISS itu diberikan kepada Anra karena dianggap berhasil mengendalikan demo besar-besaran di kamp pengungsian Sudan Selatan. Sejak merdeka, Sudan Selatan memang tak pernah sepi dari konflik. Skornya di Fragile States Index (dulu Failed States Index), daftar yang disusun Fund for Peace dan majalah Foreign sejak 2005, juga selalu tertinggi. Nah, pada November 2015, terjadilah demo besar itu. Kolonel Mario dari Jerman, team leader ketika itu, memerintah anggotanya untuk memasukkan pendemo ke holding facility (semacam penjara). Tapi, Anra yang ketika itu menjadi anak buah Mario menolak kebijakan tersebut. Dia mengusulkan penanganan pendemo yang lebih humanis. “Ketika itu saya ingat yang diajarkan komandan saya saat masih di Polda Riau. Menangani pendemo itu harus didahului dengan cara yang humanis,” ujarnya. Anra akhirnya memutuskan bertindak sendiri. Dia menerima pengunjuk rasa dan menanyakan apa kebutuhannya. Ternyata, mereka hanya ingin diwadahi ke dalam World Food Supplement, sebuah organisasi PBB yang menangani persoalan makan pengungsi. Problem pun tertangani dengan baik. Beberapa hari kemudian, Anra dipanggil Senior Representative Secretary General (SRSG) yang dipimpin seorang jenderal perempuan dari Angkatan Darat Inggris. Anra dianggap lebih layak menjadi team leader. Jadilah sejak Desember 2015 itu, dia menggantikan peran Kolonel Mario. Menjadi team leader, memimpin 35 personel UN Police dari segala penjuru negara. Di tim tersebut ada dua brigjen polisi asal Ethiopia. Sementara itu, pamen lainnya berasal dari Argentina, Brazil, Norwegia, Rumania, Belanda, dan sejumlah negara Afrika. Anra sadar, seorang bintara memimpin para perwira bukan hal mudah. Namun, dia berupaya mengatasi resistensi dengan pandai-pandai menempatkan diri. “Saya dari bintara. Jadi, paham bagaimana rasanya menjadi anak buah. Saya tetap perlakukan sebaik mungkin anak buah saya,’’ ujarnya. Jika ada yang berbuat salah, Anra berupaya menegur dengan cara memanggil. Mengajaknya bicara empat mata. ”Bagaimanapun, mereka kan pangkatnya tinggi di negaranya,” katanya. Cara itu, menurut dia, ternyata sukses “menaklukkan” para pamen dan jenderal. Mereka jadi mudah dikendalikan. “Memang riak-riak itu ada. Terutama ketika ada jenderal yang diperintah anggota lain. Dia bilang, ’Saya ini jenderal. Yang berhak perintah saya itu hanya Anra,’ ,” katanya.  (*/c6/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: