Ini Liku-Liku Alif Tristan, “Messi dari Indonesia”, Menuju Eropa

Ini Liku-Liku Alif Tristan, “Messi dari Indonesia”, Menuju Eropa

Penggalangan dana tengah dilakukan untuk membantu Alif Tristan mengembangkan talenta di Eropa. Dia bocah Asia pertama yang pernah jadi pemain terbaik ajang prestisius pemantauan bakat di Ajax Amsterdam.  Laporan: AHMAD BAIDHOWI, Jakarta EDWIN van der Sar menyerahkan surat itu kepada Ivan Trianto. “Bacalah,” kata kiper legendaris Belanda itu.  Ivan pun secara perlahan membuka surat berkop Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) tersebut. Lalu, dengan segera dia merasa seperti dibanting dengan keras. Lemas. Pening. Duduk di hadapannya, hanya terpisah meja, di kompleks markas Ajax Amsterdam, Belanda, Van der Sar tak kalah gelisah. Berkali-kali kiper yang mengantarkan Manchester United menjuarai Liga Champions 2008 tersebut memegangi kepala. “Kami ingin mempertahankan Alif. Tapi, kami terancam sanksi dari FIFA kalau melakukannya,” ujar salah seorang direktur Ajax itu kepada Ivan. Inti surat dari FIFA tersebut memang mempertanyakan status Alif Tristan, putra Ivan, yang tengah berlatih di Ajax. FIFA menggarisbawahi, aturan bertajuk FIFA Non-EU Youth Player Regulation jelas menyebutkan bahwa klub sepak bola Eropa dilarang merekrut pemain berusia di bawah 18 tahun dari wilayah luar Uni Eropa. Aturan itulah yang akhirnya menahan impian Alif untuk mengembangkan karir di Eropa, episentrum sepak bola dunia. Hingga dua tahun setelah pertemuan empat mata antara sang ayah dan Van der Sar pada suatu sore di 2014 tersebut, bocah kelahiran 12 Desember 2004 itu hanya bisa berlatih di klub Bintang Garuda yang bermarkas di lapangan DPR, Senayan, Jakarta. Latihannya setiap Sabtu pukul 08.00–12.00. Selain itu, setiap hari Alif bermain di lapangan dekat rumahnya di Bintaro, Jakarta Selatan, pada pukul 16.00–18.00. Dia didampingi empat pelatih, salah satunya Abdul Rasyid, mantan pemain timnas Indonesia. Menu wajib latihannya adalah metode pelatihan Coerver coaching yang didapatnya di akademi Ajax Amsterdam. Di antaranya, teknik dribbling (menggocek bola), ground move (mengolah bola di antara kaki), passing (mengumpan), dan shooting (menendang bola ke gawang). “Saya senang. Nggak capek,” kata Alif saat bersama orang tuanya, Ivan Trianto dan Irma Lansano, bertandang ke kantor Jawa Pos (Radar Cirebon Group) di Graha Pena Jakarta, Selasa lalu (3/5). Tapi, bagi Ivan, tempat yang cocok untuk bakat sehebat anaknya adalah Eropa. “Saya sedih memikirkan Alif. Kalau tinggal di Indonesia, bakatnya akan sia-sia,” tuturnya. Ivan dengan miris menuturkan bagaimana Alif menjadi sasaran tekling keras saat tampil di ajang antar-SSB (sekolah sepak bola). Apalagi, pelatih tim lawan tak jarang memprovokasi pemainnya dengan teriakan “sikat”, “ambil”, atau ”hajar”. Untung, Ivan akhirnya dipertemukan dengan Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia serta pendiri Rumah Perubahan, dan Andrinof Chaniago, mantan menteri PPN/kepala Bappenas. Dua orang itulah yang kini bergerak cepat untuk membuka jalan bagi Alif ke Eropa. Karena akademi Ajax Amsterdam sudah disorot FIFA, Alif kini diarahkan menuju akademi di negara Eropa lainnya. Seorang pelatih akademi Ajax pernah berkata kepada Ivan, saat melihat rekaman video skill Alif, para pemandu bakat klub-klub raksasa Eropa akan memperebutkannya. Beberapa klub pun sudah mengonfirmasikan kesediaan untuk menerima Alif di akademi masing-masing. Namun, karena masih menunggu syarat administratif seperti izin tinggal orang tua dan klub tak ingin bermasalah dengan FIFA, beberapa klub masih menunggu prosesnya hingga final. Salah satu opsi yang dituju Alif adalah klub La Liga Spanyol asal Kota Madrid, Getafe. Namun, beberapa klub lain yang lebih besar juga dikabarkan bakal memburu Alif jika proses kepindahan ke Spanyol tuntas. Yang jelas, karena harus berangkat sendiri, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ivan menyebutkan, berdasar kontak dengan tim salah satu kota besar di Eropa itu, setidaknya dibutuhkan biaya EUR 175 ribu atau sekitar Rp2,6 miliar. Itu merupakan biaya akomodasi Alif dan orang tua yang wajib ikut serta biaya pendidikan formal sekolah Alif. “Kalau untuk biaya di akademi, sudah digratiskan, termasuk semua perlengkapan sepak bola,” kata Ivan. Bagi Ivan yang bekerja sebagai karyawan perusahaan rental mobil dan Irma yang ibu rumah tangga, angka Rp2,6 miliar tentu tak sanggup mereka penuhi sendiri. Karena itulah, Rhenald Kasali dan Andrinof Chaniago kini bergerak untuk melakukan penggalangan dana. Menurut Rhenald, Alif bukan saja aset orang tua, tapi juga aset Indonesia. Jadi, jangan sampai bakatnya kandas karena biaya. “Bayangkan, sepuluh tahun lagi Alif bisa bermain di klub besar Eropa dan jadi salah satu pemain terbaik kelas dunia. Betapa bangganya kita kalau itu terwujud,” kata Rhenald. Jadi, lanjut Rhenald, sekarang saatnya semua pihak bahu-membahu mewujudkannya. Gayung pun bersambut. Pertamina sudah mengucurkan beasiswa senilai Rp300 juta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga memberikan beasiswa EUR 9 ribu atau sekitar Rp136 juta. Bagaimana Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang juga pernah didatangi Alif? ”Malah belum (ada donasi, red),” kata Ivan.Tapi, dana yang terkumpul sebesar Rp436 juta itu masih jauh dari kebutuhan Rp2,6 miliar. Padahal, awal Juni nanti Alif harus sudah berada di Eropa agar bisa didaftarkan untuk ikut liga junior di negara tersebut dan liga junior di tingkat Eropa. Praktis, waktu tersisa tinggal satu bulan lagi. Memang akan sangat tragis kalau bakat sebesar Alif sampai gagal berkembang karena tidak mendapatkan habitat yang sesuai. Empat tahun silam Pep Guardiola menyebutkan, dalam satu generasi, biasanya hanya muncul satu pemain hebat di seluruh dunia. “Di generasinya, anak inilah (sambil menunjuk Alif, red) pemain hebat itu,” ujarnya, menirukan Pep setelah melihat aksi Alif di Jakarta pada 2012. Pujian Pep itu sejalan dengan prestasi yang ditunjukkan Alif. Pada Ajax International Camp 2014, Alif terpilih sebagai most valuable player (MVP) alias pemain terbaik. Ajang prestisius pemantauan bakat yang melahirkan banyak bintang lapangan hijau dunia itu hanya bisa diikuti 250 anak usia 8–16 tahun dari 20 negara yang sudah melalui seleksi ketat. Saat itu Alif tidak hanya menjadi pemain terbaik di kelompok usia 9 tahun. Tapi juga yang terbaik untuk semua kelompok umur alias best of the best.  Alif juga menjadi bocah Asia pertama yang meraih predikat bergengsi itu. Datang dari negara yang sangat mencintai sepak bola tapi prestasinya di lapangan masih tergolong antah-berantah, raihan tersebut jelas luar biasa. Tak heran, beragam julukan dari media Belanda dan Eropa bermunculan. Mulai Messi dari Indonesia sampai Wonderkid. Nama Alif mulai dikenal pada 2012, saat rekaman video yang memperlihatkan skill-nya muncul di YouTube. Sampai sekarang, setidaknya ada 12.200 video tentang Alif di kanal video gratis tersebut. Isinya macam-macam. Mulai yang memperlihatkan bocah kelas VI SD Kartika Bintaro itu menggiring bola, melewati lawan, melepas tendangan keras, atau mencetak gol. Juga ada jurus Roulette de Zidane, memutar badan sambil tetap menggiring bola. Membuat lawan seolah terpana tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya, saat dipanggil untuk menghadap Van der Sar, Ivan sudah diberi solusi agar sang anak tetap bisa berlatih di Belanda. Yakni, dia harus bisa mendapatkan izin tinggal tetap atau permanent resident dari pemerintah Belanda. Sebab, ketika itu ada tiga orang Asia yang tercatat masuk akademi klub sepak bola top Eropa. Selain Alif, ada dua anak dari Jepang. Seorang anak masuk akademi Barcelona, seorang lagi berada di Real Madrid. Pemerintah Jepang lantas bergerak cepat. Agar bisa mendapatkan izin tinggal, orang tua dua anak itu, yang profesi aslinya nelayan dan pemilik toko kelontong, langsung dipekerjakan sebagai staf di Kedubes Jepang di Madrid. Ivan pun menuruti saran itu. Dengan penuh harap, Ivan mengajukan permohonan kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) agar bisa dipekerjakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda. Disertai alasan terperinci perihal Alif. “Jadi sopir atau pekerjaan lain saya siap,” kata dia. Waktu demi waktu berlalu. Lalu, asa itu layu. Karena tiada respons dari Kemenlu. Tak patah semangat, Ivan mengajukan lamaran bekerja di kantor cabang Garuda Indonesia di Amsterdam. Sebab, izin tinggal juga bisa diberikan bagi karyawan perusahaan yang membuka kantor di Belanda. Bekal ijazah sarjana bidang manajemen transportasi udara dari Universitas Trisakti dia lampirkan. Ivan pun tekun menanti jawaban hari demi hari. Namun, hingga kini, tak ada balasan dari maskapai kebanggaan Indonesia yang menggelontorkan dana USD 9 juta (sekitar Rp120 miliar) per tahun untuk klub Liga Inggris Liverpool itu. Tapi, masih ada harapan bagi Alif. Sembari menunggu donasi dari korporasi, Rhenald Kasali dan Andrinof Chaniago telah menggerakkan kampanye Beasiswa untuk Alif Tristan-Messi dari Indonesia melalui skema crowdfunding di www.kitabisa.com/tristanalif. Hingga tadi malam WIB, total dana yang sudah terkumpul melalui kitabisa.com sudah menembus angka Rp40 juta. Rhenald berharap ada lebih banyak pihak atau donatur yang tergerak untuk memberikan beasiswa bagi Alif. ”Passion-nya tinggi, bakatnya terbukti, perjuangannya teruji. Jadi, tunggu apa lagi?” ajak Rhenald. Kalau pemerintah sulit diharapkan untuk mengantarkan Alif ke Eropa, semoga tangan publik bisa menggantikannya. Agar bakat Messi dari Indonesia itu tidak layu sebelum berkembang. (*/c11/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: