Tak Gubris Aktivis HAM, Tetap Hukum Mati Penjahat Seksual

Tak Gubris Aktivis HAM, Tetap Hukum Mati Penjahat Seksual

JAKARTA- Pemerintah tidak akan menggubris cibiran dari para aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menolak hukuman kebiri dan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual. Wapres Jusuf Kalla (JK) menuturkan bahwa pemerintah sudah mantap untuk menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual itu. “Hukuman mati menurut pandangan Eropa memamang melanggar HAM. Tapi kalau kita ya bayangkan akibatnya (kejahatan seksual anak, red),” ujar JK. JK menuturkan bahwa pandangan hukuman di banyak negara itu emang bisa berbeda. Pemerintah melihat pemberian hukuman tambahan, pemberatan hingga menjatuhkan hukuman mati itu sesuai untuk pelaku kejahatan seksual. ”Kalau ada orang salah dipenjara ya tentu tidak melanggar HAM,” tandas JK. SEBARKAN IDENTITAS PELAKU Pemerintah juga mulai menyiapkan aturan pendamping untuk memperjelas pemberian hukuman tambahan bagi para pelaku kejahatan seksual anak. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mulai membahas aturan tentang pengumuman identitas pelaku seksual anak itu. Hukuman tambahan sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) itu memang ada tiga. Yang mendapatkan sorotan memang kebiri kimia bagi para pelaku. Tapi, ada pula pengumuman identitas pelaku kejahatan seksual dan pemasangan alat elektronik pendeteksi keberadaan pelaku. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya memang akan menjadi bagian dari instanasi yang berperan mengekseskusi Perppu itu. Mereka akan membantu mengumumkan nama-nama pelaku kejahatan seksual kepada masyarakat. “Tentu nanti kominfo yang membantu menyebarkan,” ujar Rudiantara di Jakarta. Pengumuman nama pelaku kejahatan seksual itu tidak bisa sembarangan. Dalam aturan yang sedang dipersiapkan pemerintah, mereka harus menunggu terlebih dahulu proses hukum yang telah selesai. Bila sudah ada keputusan dari hakim bahwa pelaku kejahatan itu terbukti bersalah baru akan diumumkan predator anak itu. “Pengadilan menetapkan dulu, kita otomatis bantu publish,” imbuh dia. Aturan detail tentang publikasi pelaku kejahatan seksual itu masih dibahas pemerintah. Seperti seberapa detail informasi identitas pelaku itu hingga lamanya publikasi. Kominfo bersama kementerian lainnya masih merumuskan peraturan teknis tersebut. Seperti Kementerian Sosial yang sejak awal mendorong pemberian sanksi sosial. Sedangkan pemberian alat elektronik berupa chip masih akan dikomunikasikan dengan kementerian kesehatan dan kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi. Misalnya dengan badan pengkajian dan penerapan teknologi (BPPT) untuk pembuatan chip tersebut. ”Nanti langsung ke Kemenkes atau BPPT,” ujar Rudi. Lebih lanjut, Rudi menyebutkan bahwa Kominfo akan lebih banyak perperan untuk pencegahan dari sisi teknologi. Seperti pemblokiran situs-situs pornografi. Hingga kini sudah ada 760 ribu situs berbau pornografi yang telah diblokir. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. “Di dalam negeri pornografi dilarang karena ada undang-undangnya. Tapi di luar sana itu jadi industri,” kata Rudi. Selain sibuk memasukan ratusan ribu situs porno dalam black list, mereka juga membuat daftar white list. Daftar situs yang berbobot dan memiliki manfaat untuk anak dan generasi muda itu juga didaftar oleh kominfo. Tapi, jumlahnya memang masih kalah jauh dengan black list. “Yang masih white list masih ada 150 ribuan. Tentu masih jauh dengan black list,” tambah dia. Seperti diketahui, salah satu poin hukuman bagi predator seksual adalah kebiri kimia. Sayang dalam pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak dirincikan siapa yang akan melakukan. Sebelumnya, terdapat opsi yang melakukan kebiri adalah dokter. Namun Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Dr dr Prijo Sidipratomo SpRad(K) terang-terangan menolak. “Kalau menggunakan tenaga dokter untuk melakukannya, sangat bertentangan dengan kode etik,” katanya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa dalam kode etik tersebut, seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan. Hal tersebut tertuang pada Kode Etik Kedokteran Pasal 11 yang berbunyi setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup insani. Dalam penjelasanya, seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya. Menurut Prijo, bukannya dia tidak mendukung adanya hukuman untuk pelaku kekerasan seksual pada anak-anak. Namun yang dia inginkan adalah bagaimana keputusan tersebut tidak melanggar kode etik lembaganya. ”Saya malah setuju kalau ada hukuman mati atau yang lainnya. Tapi kalau kebiri dan melibatkan dokter, saya menolak,” ungkapnya. Selain itu seorang dokter bertindak harus dengan inform consent atau persetujuan tindakan medis. Inform consent ini merupakan izin yang diberikan oleh pasien yang tanpa paksaan untuk melakukan tindakan medis. Sebelumnya pasien mendapatkan informasi mengenai tindakan medis tersebut. ”Nah sekarang masalahnya apa yang mau dihukum itu mau? Kalau mereka tidak mau, kami juga tidak bisa melakukan apapun,” bebernya. Ketika ditanya jika ada kemungkinan dokter dari kepolisian maupun lembaga lain yang melakukan kebiri, Prijo menjelaskan tetap tidak bisa dilakukan. “Sumpahnya semua sama,” ungkap spesialis radiologi itu. Menurut pengakuan Prijo, sejauh ini pemerintah belum mengajak duduk bersama IDI mengenai kebiri. Sehingga dia tidak mengetahui bagaimana teknis kebiri. (jun/lyn)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: