Ditolak IDI, Hukuman Kebiri Jalan Terus

Ditolak IDI, Hukuman Kebiri Jalan Terus

JAKARTA– Penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai eksekutor hukuman kebiri ditanggapi santai oleh pemerintah. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan,  penolakan lembaga profesi bukan berarti mewakili seluruh suara dokter di Indonesia. “Saya pikir tidak semua dokter mengelak,” tuturnya di Jakarta, kemarin (10/6). Prasetyo menuturkan, dalam pembahasan hukuman tambahan ini, Menteri Kesehatan (Menkes) sudah dilibatkan sejak awal. Menkes pun telah setuju dan secara jelas memahami betapa pentingnya hukuman tambahan kebiri harus dilakukan. Dia mengatakan, penolakan IDI ini mungkin terkait dengan aturan profesi mereka. Namun, hal ini sudah diatur di undang-undang. Sehingga dokter tidak bisa disalahkan bila memang menjadi ditunjuk sebagai eksekutor. “Jadi ini kan sudah ditetapkan. Kalau dokter salah pun juga dihukum,” ungkapnya. Politisi Partai Nasdem ini pun meminta semua pihak tak hanya menyoroti sang pelaku. Tapi juga korban yang menjadi keganasan para predator seksual. Apalagi saat ini, kejahatan masih masif dan luar biasa. ”Masa pelaku dewasa sudah berulang kali (melakukan pemerkosaan) dan kita biarkan begitu saja. Kita ingin, dengan adanya kebiri bisa berikan dampak. Sehingga orang lain akan berfikir seribu kali (untuk melakukan hal sama),” tegasnya. Sikap serupa juga diutarakan Deputi bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Sujatmiko. Dia mengatakan, sudah mengetahui sejak awal sikap IDI tersebut. Pandangan pun telah disampaikan pada menteri terkait hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Bapak Presiden pun akhirnya memutuskan untuk tetap jalan terus. Ini semata untuk melindungi anak dan perempuan di Indonesia,” ungkapnya. Dia menjelaskan, pihaknya tentu menghormati sikap IDI. Meski, hingga kini belum ada penunjukan siapa pengemban tugas sebagai eksekutor hukuman kebiri. Sebab, Peraturan Pemerinta (PP) turuan Perpu No 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masih digodok. Kalaupun, lanjut dia, nantinya profesi dokter yang ditunjuk maka sejatinya harus menjalankan undang-undang yang ada. Sebab, semua sudah diatur dalam undang-undang. Dia mengibaratkan seperti petugas tembak mati. Secara individu, pasti mereka menolak. Tapi karena sudah perintah hukum, maka harus tetap dijalankan. “Kami menghormati. Tapi kami juga minta pengertian bahwa ini untuk melindungi anak dan perempuan Indonesia dari ancaman predator seksual. Ini pun bukan dokter sengaja mengakiti. Tapi melakukan tugas dalam rangka pengedilan,” papar Mantan Dubes RI untuk Sudan itu. Selain itu, menurutnya, eksekusi hukuman kebiri tidak akan serta-merta dilakukan. Pelaku kejahatan seksual akan diperiksa terlebih dahulu kondisinya. Setelahnya, mereka akan didampingi sepenuhnya oleh ahli kesehatan. Sebelumnya, IDI bersama Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) sudah menyatakan sikap bahwa mereka menolak dijadikan eksekutor hukuman kebiri. Ketua MKEK Priyo Sidipratomo bahkan secara tegas meminta para dokter yang melaksanakan hukuman kebiri untuk mundur dari profesinya. “Dokter harus menolak. Karena akan melanggar sumpahnya untuk tidak menggunakan pengetahuannya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam,” tuturnya. Dalam hal ini, sambung dia, hukuman kebiri akan menyiksa. Karena menghilangkan libido dan menyebabkan kelaian pada tulang dan otot. (idr/mia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: