Eks Cakrabirawa jadi Salafi
Oleh: Mochamad Rona Anggie* Angin malam menemani. Semakin larut kilometer bertambah. Kantuk dihadang. Lelah dilawan. Pedal gas ditekan. Kemudi menari-nari. Tak boleh hilang kendali. Awas! Rem senantiasa siaga. Selama 20 tahun, Baharudin Hasibuan menjalani malam-malam perjuangan. Mengakrabi lampu tembak. Menyalip kendaraan lain penuh waspada dalam remang cahaya bulan. Melalui antar kota dan provinsi. Demi menghidupi anak istri. “Anak banyak, saya harus bekerja,” kata lelaki 75 tahun itu, belum lama ini. Padahal sebelumnya, dia memang terlatih menembak. Melakoni kehidupan penuh aksi. Melewati batas hidup dan mati membela negeri. Prajurit muda yang terjun dalam operasi pembebasan Irian Barat. Menunaikan seruan Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Sekian personil berjibaku di belantara cendrawasih. Mujur, demikian takdir Baharudin. Dia termasuk yang bisa bertahan. Baik dari ganasnya alam, maupun deras desingan peluru. Lainnya tinggal nama di bumi Jayawijaya. Karena satu peristiwa, kemudian dia terdampar di belakang kemudi bus malam. Menembak tak lagi dengan peluru. Tapi dengan sinar lampu. *** “Saya masih merasa takut sampai hari ini,” ucap Baharudin di kediaman Desa Ciporang, Kuningan. Ayah sepuluh anak itu menerima kami – sahabat satu pengajiannya – penuh kehangatan. Udara dingin kaki gunung Ciremai melapisi lantai. Kaki para tamu tak kuasa dipijakan. Menggantung di sela-sela kursi. Selain penulis, ada Maman Salim, Abu Irbadh, dan Abu Harits Faishol. Ketiganya veteran Laskar Jihad perang Ambon. Logat Batak Mandailing Baharudin meninggi, kadang parau agak tertahan. Tampak beban sejarah menghimpitnya. Ingatan masa lampau amat membekas. Ingin tak cerita pada siapapun, tapi situasi negeri membuka kembali memori. Bungkam bukan hal mudah. Terlebih, saat ini lelaki kelahiran Pematang Siantar itu aktif dalam pengajian sunni-salafi, ahlussunnah wal jamaah. Butuh kejujuran dalam hari-hari sebagai seorang salafi. Tak bisa membohongi diri dengan sesuatu yang melanggar syariat. Nurani akan terketuk. Meminta jawab atas apa yang pernah dilakukan. Masa lalu Baharudin terkuak. Kepada Ustad Abu Ibrohim Hamzah, pengasuh kajian salafi di Kuningan, dia bertanya beberapa hal yang dianggap kekeliruan. Dari perbincangan diketahui, kakek 13 cucu itu ternyata eks pasukan elit pengamanan presiden Soekarno, Cakrabirawa. “Beliau tanya soal hukum dulu pernah memakai jimat-jimat, dan hal lain. Dari situ obrolan berlanjut, ternyata beliau mantan Cakrabirawa,” kata ustad asal Desa Cineumbeuy, Kuningan. Pemberitaan media massa belakangan mengemuka. Ada upaya pihak tertentu ingin “menerima” kembali komunisme di tengah kehidupan bangsa Indonesia. Baharudin mengelus dada. Terkenang satu kepingan cerita hidup. Ada amarah terpendam dalam dirinya. Dia sadar ideologi yang tak menuhankan Tuhan itu berlumur darah. Menyulut pemberontakan. Memercikan bara perang saudara. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di rahim ibunya, Soviet dan Tiongkok. *** Ketegangan menghinggapi dua bintara senior Cakrabirawa. Mereka berhadapan. Sesekali saling pandang. Udara sejuk sekitar Istana Bogor tak mengurangi tensi keduanya. Saling adu strategi. Otak diperas, pengalaman dibuka. Siapa bisa menghentikan langkah raja lawan lebih dulu. Siapa paling ganas melahap pion lawan. Pertemuan terakhir dengan Zul Arif siang itu, mengubah kompas hidup Baharudin 180 derajat. Padahal dia sedang menikmati masa pendidikan Sekolah Calon Perwira (Scapa). Berpeluang punya pangkat melati dan bintang. Terbayang kehidupan menjadi lebih nyaman. Tak lagi sebagai prajurit tempur, tapi menjadi perwira yang menyuruh gempur. “Pangkat terakhir saya Serka. Ikut Scapa antara 1963-1964,” bebernya. Malam harinya, Zul Arif bersama personil Cakrabirawa di bawah komando Kolonel Untung, ambil bagian dalam Gerakan 30 September 1965. Baharudin tak tahu pasti. Sohibnya itu mengerti tujuan pemberontakan, atau sekadar taat perintah pada atasan yang memang pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi Cakrabirawa tak berjalan mulus. Kolonel Untung dan pasukannya berhasil menguasai RRI. Dewan Revolusi diumumkan sebagai tandingan Dewan Jenderal. Namun petinggi Angkatan Darat (AD) di Jakarta tak hilang taji. Mereka masih punya nyali. Terlebih jenderal besar AD, Abdul Haris Nasution, lolos dari pembunuhan. Pangkostrad, Mayjen Soeharto, ditugaskan membenahi keadaan. Esok hari, 1 Oktober, RRI berhasil direbut kembali. Keadaan berbalik. Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) turun tangan. Situasi dikendalikan TNI. Cakrabirawa kemudian dibidik. “Saya masih berjaga di Istana Bogor saat kejadian,” terang Baharudin. Seluruh pasukan Cakrabirawa terkontaminasi selepas itu. Persepsi pimpinan TNI AD semua sama: personil Cakrabirawa terlibat G-30-S/PKI. Moncong senapan prajurit TNI semua terarah pada Cakrabirawa. Padahal tidak demikian. Baharudin dan beberapa rekan tak tahu-menahu soal aksi berdarah itu. “Saya dan ratusan orang lain sempat ditahan dalam satu sel. Pengap sekali, bernapas pun sulit,” paparnya. Dia ingat saat di sel, setiap malam dua orang temannya dibawa keluar dan tidak kembali lagi. Insting prajurit Baharudin membaca mereka yang tak kembali pasti sudah dibunuh. Bulan penuh bencana pasca kejadian. Pembunuhan terhadap mereka yang terkait PKI menjadi “legal”. Terlebih setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 terbit. Soekarno memberi kewenangan tak terbatas pada Soeharto. PKI resmi dilarang. Pembersihan terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya meluas. Di titik ini, naluri alamiah Baharudin untuk mencari selamat menguat. Walau merasa tidak terlibat pembunuhan para jenderal, secara sadar ia tahu nyawanya terancam. Cepat atau lambat ia bisa dieksekusi. Berat hati, ia pun memilih meneruskan hidup dalam pelarian. Ia lepas baret kebanggaan Cakrabirawa. Menjalani hari-hari sebagai rakyat biasa. “Dari Jakarta saya langsung ke Kuningan. Tak ada saudara, tak ada kawan. Sampai kemudian bisa menikah di sini,” kenangnya. Ditanya apakah sekarang PKI bisa muncul kembali? Lelaki yang pernah bertugas di kesatuan Banteng Raiders itu menyatakan sulit. “Angkatan Darat sudah kuat sekali. Tidak bakal membiarkan PKI hidup kembali,” tegasnya. Menjelang Isya, kami pamit. Azan berkumandang. Baharudin bersiap ke masjid. “Belum lama saya sempat pulang ke Medan. Ada anak baru selesai wisuda kemudian menikah,” katanya dengan senyum mengembang. Para tamu pulang. Selepas salat, Baharudin bisa menikmati segelas teh manis hangat. Bersenda gurau dengan anak-cucu. Tak perlu lagi datang ke pangkalan bus. Terima kasih untuk akh Yanto Mandirancan atas transportasinya. (*) *) Mantan wartawan. Pemerhati sosial dan keagamaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: