Kota Cirebon Masih Minim Kebijakan yang Pro Anak

Kota Cirebon Masih Minim Kebijakan yang Pro Anak

Sejak lama pemerintah telah mencanangkan kota yang ramah anak. Tak sekadar memberi ruang bermain, tapi juga banyak hal lain. Apakah Kota Cirebon sudah layak anak? Apa saja upaya mewujudkannya? HAMPIR separuh penduduk Kota Cirebon hingga tahun 2015 adalah anak-anak atau di bawah 17 tahun. Di tahun 2013 jumlah anak di Kota Cirebon 110.343, kemudian di tahun 2014 naik menjadi 128.237 dan di tahun 2015 menjadi 135.324 anak. Kendati demikian, pemerintah kota belum punya kebijakan yang proanak. Perlindungan anak, memberi tempat tumbuh kembang yang layak, termasuk sarana rekreasi , bisa dikatakan sangat kurang. Terbatasnya lahan menjadi kendala tersendiri, padahal Kota Cirebon tengah berupaya menjadi kota yang ramah untuk anak. Sejak 2006, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah menunjuk Kota Padang, Jambi, Surakarta, Malang, Manado dan Kupang sebagai tempat uji coba kota layak anak. Sementara untuk tingkat kabupaten, yakni Aceh Besar, Sidoarjo dan Gorontalo. Menurut Pemerhati Anak Seto Mulyadi, seluruh kota harus mampu mewujudkan kota yang ramah terhadap kehidupan anak. Untuk memenuhi kriteria tersebut, kurikulum pendidikan di daerah masing-masing harus ramah anak dan tidak ada diskriminasi pada anak. Setiap kota harus mampu memberikan anak suasana yang nyaman dan gembira dalam menimba ilmu. Kota juga harus mampu memberikan mereka ruang terbuka untuk dapat tumbuh kembang serta melindungi dan menghindari mereka dari berbagai tindak kekerasan. “Salah satu contohnya Kota Padang Panjang yang sudah menjadi kota layak anak dengan membebaskan anak dari rokok dan segala bentuk iklan rokok,” katanya. Kota Cirebon masih belum dapat dikatakan layak anak. Beragam indikator dari cluster yang ditentukan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 12/2011 belum terpenuhi. Kendati demikian, pemerintah bukan tanpa upaya. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sebagai koordinator sudah memiliki langkah yang masuk dalam program kerja. Namun, dari semua indikator kota layak anak, pemenuhan tempat bermain dalam suasana Ruang Terbuka Hijau (RTH), masih sulit. Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kota Cirebon, Drs Yayat Supriyatna mengatakan, secara definisi, kota layak anak merupakan sistem pembangunan yang mengintegrasikan komitmen pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Semua komitmen diwujudkan dalam program kegiatan berkelanjutan. Ada lima cluster hak anak. Meliputi hak sipil dan kebebasan, keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, seni budaya dan pendidikan khusus. Dukungan kebijakan aturan dibuat dalam bentuk peraturan daerah (perda) terkait. Diantaranya Perda 6/2009 tentang perlindungan anak terlantar dan anak dengan perlindungan khusus, Perda 4/2011 dan Perda Kawasan Tanpa Rokok. Jumlah anak di Kota Cirebon mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini, anak di Kota Cirebon mencapai 135.324 orang. Termasuk anak adalah usia 0-18 tahun. Dari jumlah itu, hanya 43.065 diantaranya yang memiliki akte lahir. “Ada 92.259 atau 68,18 persen yang belum memiliki akte lahir. Padahal gratis. Solusinya kita kerjasama dengan berbagai pihak,” ucap Yayat. Persoalan akte tersebut baru satu cluster. Masih banyak lainnya yang perlu pembahasan bersama. Untuk menjamin hak anak jalanan dan yatim piatu tidak mampu, ada 24 lembaga kesejahteraan sosial anak yang aktif di Kota Cirebon. Begitupula sektor pendidikan. Bappeda telah membuat konsep pengembangan sekolah layak anak dengan sarana prasarana yang lengkap. Seperti kantin sehat, fasilitas WC yang layak dan ruang UKS lengkap. “Bangunan sekolah harus aman untuk anak. Begitupula fasilitas kesehatan ramah anak dengan ruang pelayanan khusus anak,” terangnya. Dari semua yang ada, tempat bermain anak masih belum optimal. Dengan keterbatasan lahan di Kota Cirebon, anak-anak belum mendapatkan haknya secara penuh dan layak. Persoalan lainnya, kata Yayat, perlu komitmen semua pihak tentang prinsip dasar melayani masyarakat. Bappeda mengusulkan ada pembangunan bersama tempat bermain anak dari unsur pemerintah, swasta dan masyarakat. Untuk kekerasan terhadap anak, sudah ada pemenuhan hak anak di PPT RSUD Gunung Jati, PPA Polres, dan P2TP2A Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB). Kepala BPMPPKB Kota Cirebon, Hj Deane Dewi Ratih MM mengungkapkan, beragam cara dan kebijakan telah digulirkan, termasuk dalam penguatan dengan membentuk Forum Anak Cirebon. Forum anak ini memiliki tugas yakni sarana penyaluran aspirasi bagi anak di Kota Cirebon. Termasuk mendukung program kerja Pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak anak, identifikasi kondisi sosial budaya dan isu yang terkait masalah anak-anak. \"Forum anak diperlukan karena aspirasi, kebutuhan dan kepentingan anak perlu menjadi pertimbangan dalam setiap mengambil keputusan dari pemerintah,\" tuturnya. Deane menjelaskan, pengambilan keputusan sudah menjadi bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dalam sebuah proses pembangunan. Oleh karena itu, keberadaan forum anak memiliki peranan penting untuk mewujudkan tujuan mewujudkan suksesi program KLA. Sebab ini dapat menjadi langkah awal yang menunjukan kepedulian Pemerintah Daerah terhadap dunia anak-anak. \"Forum ini merupakan organisasi atau lembaga sosial yang dibentuk sebagai wadah partisipasi anak yang belum berusia 18 tahun. Anggotanya merupakan perwakilan dari kelompok kegiatan anak yang dibina oleh Pemerintah,\" ungkapnya. Di tempat terpisah, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Cirebon, Drs Adin Imaduddin Nur mengatakan, kurikulum pendidikan dibuat ramah dan tidak ada diskriminasi pada anak. Untuk itu, setiap sekolah berupaya memberikan suasana nyaman dan gembira bagi anak menimba ilmu. “Kota layak anak itu pendidikan harus aman dan nyaman bagi siswa,” ucapnya. Dengan pendidikan yang demikian, Adin yakin Kota Cirebon dapat menerapkan prioritas hak anak. Selama ini, masih ada item di dunia pendidikan yang perlu diperbaiki. Secara bertahap, hak anak di dunia pendidikan harus diberikan. Sementara itu, RSUD Gunung Jati kini memiliki Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) bagi anak yang hanya ada satu di Indonesia. Direktur RSUD Gunung Jati, drg H Heru Purwanto MARS mengatakan, kekerasan psikis, fisik dan seksual pada anak, sulit disembuhkan. Karena itu, penanganan terhadap anak dilakukan hati-hati dan komprehensif. RSUD Gunung Jati memiliki PPT bagi anak yang menjadi korban kekerasan fisik, psikis dan seksual. PPT ini satu-satunya di Jawa Barat. Lebih dari itu, semua biaya yang ada dalam PPT gratis. \"Kita pakai dana BLUD. Itu diperbolehkan. Anak-anak berhak memiliki hidup lebih baik,\" ujarnya. Tujuan utama kehadiran PPT di RSUD Gunung Jati, untuk memudahkan anak-anak korban kekerasan seksual, psikis maupun fisik, dalam memberikan perawatan dan pemulihan secara fisik dan psikologis. Setiap anak, kata alumni S-2 Manajemen Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia (UI) Jakarta ini, mereka berhak bahagia dengan kehidupannya. Tumbuh dan berkembang dengan normal. Dengan jumlah pasien yang terus meningkat setiap waktu, PPT RSUD Gunung Jati mampu meminimalisir dan menekan angka kekerasan seksual, psikis dan fisik kepada anak. Hal ini bentuk upaya memberikan hak anak. Dalam sebulan, PPT RSUD Gunung Jati menerima sekitar 15 kasus dari wilayah III Cirebon. Banyak diantaranya korban sodomi. Berdasarkan penelusuran pengakuan pelaku, mereka rata-rata sebelumnya pernah menjadi korban sodomi. Karena itu, lanjut Heru Purwanto, memutus mata rantai kekerasan fisik, psikis dan seksual pada anak dilakukan secara komprehensif dan lintas sektoral. Mulai dari penegak hukum, medis, psikolog, hingga tokoh agama dan masyarakat, semua terlibat untuk memberikan hak-hak anak. \"Semua yang dilakukan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat,\" ucapnya. (yusuf suebudin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: