Pengusaha Rokok: Berita Harga Naik Itu Hoax
JAKARTA- Belakangan publik dibuat heboh dengan rencana kenaikan harga rokok. Bahkan ada yang menyebut harga rokok akan menjadi Rp50 ribu per bungkus. Tapi Ketua Gabungan Asosiasi Pengusaha Rokok Indonesia (Gapri) Ismanu Sumiran mengatakan kabar harga rokok akan menjadi Rp50 ribu per bungkus itu hanya hoax (tidak benar). “Itu hoax!” tegas Ismanu kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) tadi malam (21/8). “Pihak yang mengusulkan dan mengembuskan kabar itu telah menimbulkan kekacauan ekonomi dan meresahkan,” imbuhnya. Terkait kenaikan harga, pihaknya saat ini berpatokan pada nota keuangan 2017 yang diumumkan pemerintah baru-baru ini. Di situ tercatat kenaikan cukai 5,8 persen. Berpatokan pada hal itu, penerimaan cukai dari industri rokok menjadi Rp149,9 triliun pada 2017 dibanding Rp138 triliun pada tahun ini. Jika ditambah pajak, total setoran industri rokok kepada negara Rp170 triliun. “Ibaratnya, sesungguhnya industri rokok ini BUMN yang dikelola swasta. BUMN sendiri tidak sebesar itu setorannya. Cukai dan pajak ke negara itu setara sekitar 70 persen dari omzet,” ulasnya. Namun, untuk membahas harga jual produk rokok, pihaknya akan duduk bersama dengan pemerintah karena mempertimbangkan beberapa faktor. Setidaknya ada tiga faktor utama: inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan faktor X yang umumnya berkaitan dengan iklim atau situasi politik. “Tapi, yang pasti tidak mungkin kenaikan harganya melebihi kekuatan pasar. Karena akan kontraproduktif,” yakin dia. Potensi logis kenaikan harga rokok nanti adalah 6 sampai 7 persen dari harga jual saat ini. Meskipun dia sendiri belum bisa menyebutkan berapa potensi pastinya. Atas dasar itu, Sumiran menegaskan bahwa penyebaran kabar harga rokok akan Rp50 ribu tersebut merupakan tindakan tidak bertanggung jawab. “Kami akan luruskan ini semua bahwa itu tindakan mengadu domba dengan pemerintah. Industri kita sekarang sudah beda dengan zaman dulu yang masih kecil. Sehingga situasi sekarang harus kita jaga dan pelihara bersama,” tuturnya. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan bahwa hingga saat ini pemerintah masih membahas besaran kenaikan cukai rokok tahun depan. Soal wacana kenaikan harga rokok Rp50 ribu. Dia mengatakan hal itu baru sebatas usul dari kelompok pro kesehatan, yakni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). “Itu kan usul. Kita mendengarkan dulu. Sementara itu, timing dan besaran kenaikan tarif cukai masih dibahas internal,” terangnya kepada koran ini kemarin. Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menekankan, wacana harga rokok Rp50 ribu tersebut adalah salah satu usul yang disampaikan kepadanya. Dalam hal ini, bea cukai menampung semua usul, baik dari kelompok pro maupun kontra. Namun, dia menegaskan, jika pemerintah menuruti usul yang diajukan tersebut, industri rokok dipastikan bangkrut. “Kalau hanya mendengarkan satu pihak (pro kesehatan, Red), ya bisa bangkrut itu (industri rokok). Selalu kalau lewat kurva optimum, ada ekses negatifnya, yaitu industrinya mati atau bermunculan yang ilegal. Jadi, tidak hanya (mempertimbangkan) yang pro kesehatan, tapi juga ada petani (tembakau),” tuturnya. Menurut Heru, kenaikan tarif cukai rokok harus dilakukan bertahap. Apalagi, tahun lalu pemerintah baru saja menaikkan cukai rokok menjadi rata-rata 11,6 persen. Dia mengatakan, jika kenaikan terlalu besar, akan muncul dampak negatif. “Dua setengah kali lipat (kenaikan) itu bisa berdampak negatif. Komunitas dan perekonomian yang akan merugi nanti,” imbuhnya. Head of Regulatory International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) Elvira Lianita juga membantah kabar harga produknya sedang dan akan menjadi Rp50 ribu per bungkus. ”Isu terkait adanya kenaikan harga secara drastis atas produk-produk Sampoerna adalah informasi tidak benar yang disebarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya melalui surat elektronik kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) tadi malam. Sampoerna yang merupakan penguasa pasar rokok nasional, menurut Elvira, mendukung kebijakan tarif cukai yang adil, transparan, dan terprediksi dengan tetap memperhatikan unsur perlindungan kesehatan. Termasuk perlindungan terhadap 6 juta orang yang terlibat dalam industri hasil tembakau nasional. “Perlu menjadi catatan penting, dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp9 triliun (berdasar studi dari beberapa universitas nasional, Red). Hal ini tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja,” tuturnya. Kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif dinilai bukan merupakan langkah bijaksana. Sebab, kata Elvira, setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif. Aspek tersebut terdiri atas seluruh mata rantai industri tembakau nasional: petani, pekerja, pabrikan, pedagang, dan konsumen. Harus dipertimbangkan pula kondisi industri dan daya beli masyarakat saat ini. “Kebijakan cukai yang terlalu tinggi akan mendorong naiknya harga rokok menjadi mahal sehingga tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Jika harga rokok mahal, kesempatan ini akan digunakan produk rokok ilegal yang dijual dengan harga sangat murah karena mereka tidak membayar cukai,” paparnya. Mengenai harga rokok di Indonesia jika dibandingkan dengan di negara-negara lain yang kemudian disimpulkan lebih murah, menurut Elvira, perlu dilakukan kajian yang menghitung daya beli masyarakat di tiap-tiap negara. “Jika kita membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita di beberapa negara, harga rokok di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura,” jelasnya. (gen/ken/c9/ang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: