Ussy Pieters, Doktor Musik dan Master Harpa Pertama Indonesia
Melalui jalur musik, Dulcyana Pahlevi Pahlawani Pieters atau yang akrab disapa Ussy Pieters ingin mengabdikan diri untuk Indonesia. Dia pun pulang ke tanah air setelah 19 tahun menimba ilmu musik di Italia hingga meraih gelar doktor. Laporan: ANDRA NUR OKTAVIANI, Jakarta STUDIO Rossi di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu lalu (10/8) lebih riuh daripada biasanya. Malam itu dan malam-malam seterusnya studio musik tersebut menjadi saksi ketekunan ibu-ibu dalam berlatih paduan suara. Setidaknya 16 judul lagu milik almarhum Chrisye harus mereka hafalkan dengan baik. “Kami sedang berlatih keras untuk konser 3 Dekade Cinta Chrisye September nanti. Kami pun harus latihan setiap hari sampai jam sebelas malam,” tutur Ussy Pieters, menyambut kedatangan Jawa Pos (Radar Cirebon Group). Setelah konser 3 Dekade Cinta Chrisye, berdasar rencana, paduan suara binaan Ussy itu bertolak ke Barcelona, Spanyol, untuk mengikuti festival paduan suara. Mereka selama ini memang rajin mengikuti berbagai event paduan suara di dalam dan luar negeri. Di antaranya ke Busan, Tiongkok, dan Manila, Filipina. “Terakhir, kami ikut festival paduan suara tingkat internasional di Bali,” tutur perempuan kelahiran Jakarta, 10 November 1954, itu. Ussy mengatakan, melatih kelompok paduan suara dengan anggota yang sudah tidak muda lagi (30–77 tahun) gampang-gampang susah. Di satu sisi, mereka menang jam terbang. Di sisi lain, ibu-ibu itu mulai mudah lupa. Jadi, di setiap latihan Ussy harus mengulang materi latihan sebelumnya. “Saya juga lebih banyak memberi contoh lebih dulu kepada mereka,” ujar Ussy. Yang menarik, selain untuk menyalurkan hobi, aktivitas paduan suara tersebut dijadikan ajang melawan Alzheimer, penyakit kepikunan. Banyak peneliti yang menegaskan bahwa musik mampu mencegah seseorang dari kepikunan. “Selain bisa riang gembira menyalurkan hobi, secara tidak langsung mereka mencegah kemungkinan terjangkit penyakit Alzheimer,” kata dia. Kendati secara usia para anggotanya sudah tidak muda lagi, kelompok paduan suara Ussy Pieters Choir cukup berprestasi. Di Manila, misalnya, mereka sukses membawa pulang Silver Award Level 4. Sedangkan di Bali, mereka berhasil memenangi Silver Award Level 8. “Semua kami raih dengan kerja keras dan disiplin tinggi,” terang Ussy. Ussy dikenal sebagai guru paduan suara yang keras dan tegas. Jika akan menghadapi konser atau festival, dia tidak segan-segan mengeluarkan larangan agar anggota paduan suara bisa berfokus dan menjaga kualitas suara. “Misalnya, enggak boleh ada handphone selama latihan. Makanan juga harus dijaga ketat. Tidak boleh makan gorengan, manisan, santan, getah, kopi. Enggak,” tegas dia. Dia juga selalu membawa tim inti ke TC (training center) di luar kota selama tiga hari. Selama itu, Ussy menerapkan latihan yang cukup berat. Latihan dimulai pada pukul 05.00. Yang terlambat mendapat hukuman lari keliling lapangan. Tidak peduli berapa pun usianya, mereka harus menjalani hukuman itu. “Mereka sudah komit dan harus mematuhi aturan itu. Kalau tidak suka, keluar. Dari situ, ketahuan siapa yang layak ikut,” jelas alumnus SMA Tarakanita 1 Jakarta tersebut. Sikap disiplin tinggi itu, papar Ussy, diwarisi dari sang ayah yang seorang perwira tinggi militer pada era Orde Lama. Dia adalah Herman Pieters. “Bapak saya dulu Pangdam XV Pattimura pertama untuk Maluku-Irian Jaya (kini Papua, red). Beliau juga pernah menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 1950-an,” tutur Ussy. Menurut dia, hanya dengan kedisiplinan tinggi, suatu upaya akan berhasil. “Bagaimana mau maju dan menang kalau kita tidak disiplin saat berlatih,” ucap dia. Latihan keras Ussy Pieters Choir akhir-akhir ini dilakukan untuk persiapan konser yang didedikasikan buat almarhum Chrisye. Itulah konser tribute to Chrisye pertama yang dibawakan dengan konsep paduan suara. Konser 3 Dekade Cinta Chrisye tersebut digelar untuk mengenang 30 tahun Chrisye berkarya. Lagu-lagu populer ciptaan Chrisye diaransemen ulang untuk konsep paduan suara yang diiringi orkestra dan petikan harpa. “Yanti (Damayanti Noor, istri Chrisye, red) bilang surprised banget karena sebelumnya enggak pernah ada konser Chrisye dengan paduan suara,” terang Ussy. Konser itu nanti dikemas dengan sangat berbeda dari konser-konser sejenisnya. Salah satunya soal durasi waktu yang panjang, yakni 95 menit tanpa jeda. Selain paduan suara, juga disuguhkan pertunjukan tari dan seni multimedia. “Kami tidak boleh main-main. Ini konser besar dan akan ditonton banyak orang. Kami harus kerja keras,” ucapnya. Hal istimewa lain dalam konser nanti adalah tampilnya tiga generasi yang berbeda. Selain tim utama Ussy Pieters Choir, Ussy juga mengajak tim paduan suara yang memiliki rentang usia ekstrem, 70–80 tahun. “Kebanyakan mereka dulu istri-istri pejabat,” jelas Ussy. Tim paduan suara itu tidak sendirian. Mereka akan berkolaborasi dengan para penyanyi yang juga berasal dari tiga generasi. Mulai Harvey Malaiholo, Vina Panduwinata, Marcel Siahaan, Raisa, hingga Mikha Tambayong. Mereka akan membawakan lagu-lagu legendaris Chrisye dengan back sound paduan suara Ussy Pieters Choir dan iringan musik dari Light Orchestra. Ussy menjelaskan, lima penyanyi tersebut dipilih karena bisa mewakili generasi masing-masing. Harvey dan Vina mewakili generasi yang paling senior, Marcel perwakilan generasi yang lebih dewasa, sementara Raisa dan Mikha representasi generasi muda. “Lagu-lagu yang akan dibawakan nanti disesuaikan dengan karakter suara mereka,” ungkap Ussy. Passion Ussy di bidang musik memang sangat besar. Sejak kecil, sulung di antara tiga bersaudara itu gemar bernyanyi dan bermain musik. Ketika bersekolah di SMA Tarakanita, Ussy aktif di kegiatan ekstrakurikuler yang berkaitan dengan musik. ”Saya ikut vocal group, drum band, dan belajar gitar,” tutur putri pasangan mendiang Herman Pieters dan Martha Esterlina Suisa itu. Dia belajar tentang musik secara formal dengan mengikuti kursus. Untuk vokal, dia belajar kepada pakar seriosa Pranadjaja. Untuk biola, Ussy diajari langsung oleh violis Idris Sardi. Dia juga mengikuti kursus musik di Sekolah Musik Yamaha. Dia benar-benar total untuk musik. Tak heran, sejak kecil Ussy mahir bermain alat musik. Mulai piano, gitar, kibor, biola, hingga harpa. Ketertarikan Ussy terhadap harpa terbilang baru ketimbang alat musik lain. Dia mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap alat musik petik tersebut. Kala itu sang ayah mengajaknya menonton konser orkestra di Jepang. Di sana, Ussy melihat seorang harpis memainkan alat musiknya dengan begitu anggun. Suara yang dihasilkan terdengar lembut dan terus terngiang-ngiang dalam benak Ussy. ”Harpa itu angel music,” ucap Ussy. Sejak itu, Ussy membuat keputusan untuk berfokus mempelajari harpa. Banyak yang kaget dengan pilihan Ussy tersebut. Mereka tidak menyangka bahwa Ussy, yang dalam keseharian berpenampilan dan berperilaku tomboi, memilih alat musik yang begitu feminin. ”Saya itu bengal, suka berkelahi, pernah mengunci suster kepala sekolah di kelas, mengikat sepeda guru di atas pintu, dan banyak lagi,” kenang Ussy, lantas tertawa. Setelah lulus SMA, Ussy meneguhkan niatnya untuk mempelajari harpa dengan serius. Karena itu, dia dikirim orang tuanya ke The Santa Cecilia Music Conservatory di Roma, Italia. Konservatorium itu yang terbaik untuk belajar harpa. Sekolah musik yang didirikan oleh Giovanni Sgambati dan Ettore Pinelli pada 1875 itu memang merupakan sekolah musik paling bergengsi di seantero Roma. Di Italia, Ussy menghabiskan waktu selama 19 tahun (1974–1993) untuk menimba ilmu di bidang musik dan mendalami harpa. Ketekunannya itu membuahkan hasil. Dia berhasil meraih gelar master of music and harp serta doctor of music. ”Di sana, saya juga sempat belajar vokal,” tambah dia. Selama menimba ilmu di Roma, alumnus SMP Kristen III Jakarta itu beberapa kali tampil bersama orkestra besar. Namanya pun mulai dikenal, bahkan sampai kampung halamannya. Saat itu dia menjadi satu-satunya harpis Indonesia. Beberapa kali Twilight Orchestra pimpinan Addie M.S. mengundangnya untuk tampil. Ussy mengatakan, belajar musik di negeri orang selama itu bukanlah hal mudah. Apalagi, saat datang kali pertama, dia tidak bisa berbahasa Italia. Dia berkomunikasi dengan bahasa isyarat tangan. Baru setelah itu dia belajar bahasa Italia secara khusus. ”Dalam tujuh bulan, saya sudah lancar (bahasa Italia, red). Setiap hari saya praktikkan di rumah maupun di sekolah,” ujarnya. Kepulangannya ke Indonesia pada 1993 disambut hangat oleh pegiat musik orkestra Indonesia. Mereka berbondong-bondong mengundang Ussy untuk tampil bersama. Selain Twilight Orchestra, ada beberapa orkestra yang menjadi langganan Ussy. Di antaranya, Dwiki Dharmawan dan Elfa’s Big Band. Ussy juga cukup sering melakukan kolaborasi dengan harpanya. Ussy ingin mengenalkan harpa ke belantika musik Indonesia. Dia ingin membuktikan bahwa harpa tidak hanya bisa dimainkan untuk musik klasik, tapi juga untuk jenis-jenis musik lain. Asalkan ada partiturnya. “Saya berkolaborasi dengan Idris Sardi, bersama Opick untuk lagu Tombo Ati, Hadad Alwi untuk lagu salawatan, dan dengan musisi-musisi lainnya,” tutur penggemar olahraga sepatu roda itu. Ikut tampil bersama beberapa orkestra dan berkolaborasi dengan musisi-musisi tanah air bukan satu-satunya yang ada dalam benak Ussy saat kembali ke Indonesia. Lebih dari itu, dia punya misi besar untuk menularkan ilmu yang didapatnya di Italia kepada masyarakat Indonesia. Ussy lalu mendirikan Ussy Pieters Music School (UPMS) pada 2003. Kala itu dia berfokus mengajarkan alat musik dan vokal kepada murid-muridnya. Hingga akhirnya Ussy tergelitik untuk membentuk kelompok paduan suara. Maklum, sebelumnya Ussy sering membentuk kelompok paduan suara. Tujuannya, diikutkan dalam festival-festival internasional. “Ini ada misi budaya juga. Untuk mengenalkan Indonesia ke dunia,” tegas dia. (*/c11/ari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: