Miris Kejamnya Pembajakan Album
’’KAK Nunuk… Mainkan!’’. Bagi anak 90-an dan awal 2000-an, kalimat itu ibarat mantra yang bisa membuat anak anteng di depan TV. Menonton program lagu anak-anak Kring-Kring Olala yang ditayangkan TPI (sekarang MNC TV). Kalimat tersebut menjadi penanda bahwa lagu segera dimainkan. Kak Nunuk sudah siaga dengan keyboard-nya. Selain mengisi acara sebagai pemain keyboard, pemilik nama asli Nugroho Setiadi itu cukup banyak menciptakan lagu anak-anak. Tidak heran jika pria yang kemudian ngetop dengan nama Kak Nunuk tersebut begitu melekat di benak anak-anak. Memasuki 2000-an, saat lagu anak dan program televisi anak mulai menghilang dari televisi, Kak Nunuk seolah ikut hilang terbawa arus. Ke mana Kak? Pria berumur 56 tahun itu bilang masih ada di pusaran bisnis hiburan. ’’Sebetulnya, saya masih ada acara di TV. Tapi bukan untuk anak-anak lagi. Melainkan untuk acara Super Deal. Acara untuk dewasa,’’ tuturnya kemarin (27/8). Kak Nunuk memang terpaksa banting setir jika ingin terus survive. Memaksa diri menjadi pemusik anak tidak ada gunanya. Tidak ada slot acara anak-anak di TV. Lalu, pendapatan didapat dari mana? Kak Nunuk bercerita, dari obrolannya dengan produser, bukan kemauan mereka untuk tidak lagi membuat tayangan anak berkualitas. Hanya, mereka tidak bisa berbuat banyak. Secara bisnis, tayangan anak tidak lagi menguntungkan. ’’Mereka (stasiun televisi) juga kan butuh hidup,’’ katanya. Kak Nunuk menyatakan, jika terpaksa, beberapa produser lebih memilih membeli program TV dari luar negeri ketimbang membuat in house program anak. Biayanya jauh lebih murah. Hanya Rp15 juta–Rp20 juta per episode. ’’Itu pun sudah dijamin kualitasnya karena program yang dibeli pasti yang sudah punya nama. Kalau membuat sendiri, risikonya terlalu tinggi,’’ ungkapnya. Risiko terbesar adalah soal rating. Kak Nunuk menyebut peminat program televisi anak kini memang sedikit sekali. Bahkan, anak-anak sendiri juga tidak berminat. Mereka lebih terbiasa dengan program televisi umum yang sebetulnya dibuat untuk orang dewasa. Terbiasa itulah yang akhirnya memunculkan perasaan suka anak-anak kepada program TV umum. Selain minat anak yang semakin menurun dan keengganan stasiun televisi, Kak Nunuk menilai pembajakan menjadi penyebab utama matinya industri hiburan anak. Bersama labelnya GNP (Gema Nada Pertiwi), Kak Nunuk sebetulnya aktif memproduksi lagu-lagu anak. Ada sekitar 80 lagu anak-anak yang terdiri atas lagu lama yang di-recycle dan lagu baru yang dikeluarkan GNP. Mereka juga rajin merilis album lagu anak. Sialnya, langkah itu jadi sasaran empuk pembajak. Hari ini dirilis, besoknya muncul versi bajakannya. Miris. Padahal, kata Kak Nunuk, produser telah membuat paket hemat untuk album fisik itu. Tujuannya, pembeli tidak keberatan. Cover-nya pakai kardus. Tanpa plastik. Harga sekeping CD-nya tidak sampai Rp10 ribu. ’’Tapi, orang tetap lebih suka bajakan. Karena hanya dengan bayar Rp 5 ribu, mereka bisa dapat 10 album dalam satu CD. Mereka kan tidak memikirkan kualitas,’’ ujar lulusan psikologi Universitas Indonesia tersebut. Kondisi itu juga membuat dua album lagu baru anak Kak Nunuk belum juga dirilis sampai saat ini. Rencananya, album tersebut baru dirilis jika pemerintah sudah bergerak tegas memberantas pembajakan. Kak Nunuk mengatakan, dua tahun lalu pemerintah pernah berjanji serius memberantas pembajakan. Sayangnya, hingga kini aksinya tidak kunjung nyata. Kini Kak Nunuk juga ikut terlibat dalam kampanye #savelaguanak. Selain ingin membuat anak Indonesia kembali mau mendegarkan lagu anak, dia mempunyai misi lain. ’’Mendorong pemerintah untuk benar-benar serius memberantas pembajakan supaya para musisi tetap mau berkarya. Sekarang ini kondisinya sudah makin parah,’’ paparnya. (habis/and/c15/ayi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: