DBD Ancam Kabupaten Cirebon, Sudah 16 Meninggal
Sebanyak 1.432 warga Kabupaten Cirebon menderita Demam Berdarah Dengue (DBD) sejak awal tahun 2016 hingga September ini. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan penderita DBD tahun 2015 lalu, yang hanya 1.247 warga. Untuk kasus meninggal, tahun 2016 ini mengalami penurunan dengan jumlah 16 orang, sementara tahun 2015 mencapai 41 warga. “TAHUN 2016 ini hingga minggu ke-34, jumlah penderita DBD menurut data kita mencapai 1.432 orang. Yang meninggal sebanyak 16 orang. Ini berbeda dengan tahun 2015 lalu. Penderitanya lebih sedikit sebanyak 1.247 warga, tapi yang meninggal lebih banyak yakni 41 warga,” beber Nanang saat dikonfirmasi Radar, Jumat (9/9). Nanang mengungkapkan, setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon merupakan daerah endemis DBD. Dikatakan endemis, karena setiap tahun selalu ada kasus DBD di semua kecamatan. Namun demikian, belum sampai ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). “Tidak ditetapkan KLB karena semuanya bisa ditangani,” ungkapnya. Ditanya kecamatan mana yang paling banyak penderita DBD tahun 2016? Nanang menjawab Kecamatan Depok. Jumlah kasusnya 78, sementara yang meninggal tiga warga. Khusus di Desa Japura Kidul, pihaknya baru mendapatkan laporan bahwa terdapat delapan warga yang positif DBD. Oleh karena itu, pihaknya segera akan melakukan penanganan, dengan fogging dan pemberian abate di daerah tersebut. Kemungkinan, fogging akan dilakukan Sabtu (10/9) besok. Nanang menjelaskan, banyak penyebab mengapa Kabupaten Cirebon selalu ramai kasus DBD. Pasalnya, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masih sangat rendah. Ditambah lagi minimnya pengetahuan warga terkait antisipasi DBD. “Warga belum sepenuhnya menerapkan gerakan menutup, menguras dan mengubur (3M). Padahal, nyamuk aedes aegypti itu berkembang biak di air yang bersih, namun yang jarang terpantau karena toren penampungan air yang di atas. Jangan disangka bisa jadi tempat nyamuk berkembang biak, kadang itu yang tidak sadari,” ujar Nanang. Sementara itu, penyebab terbesar warga meninggal dunia akibat DBD karena terlambatnya mendapat pertolongan medis. Warga mengira demam biasa, tahunya DBD. Namun ketika dibawa ke rumah sakit, sudah terlambat dan meninggal dunia. “Kami berharap dan mengimbau apabila ada warga yang demam, segera periksakan ke puskesmas terdekat ataupun dokter dan rumah sakit,” ajaknya. Selain itu, Nanang menyinggung kebiasaan latah masyarakat yang meminta fogging jika belum dipastikan adanya DBD. Padahal kalau asal fogging, bisa sangat berbahaya, terutama pada lingkungan sekitar seperti kondisi tanah akan jelek, mahkluk hidup lainnya juga akan terkena imbasnya. Belum lagi pada kesehatan manusia pasti ada dampaknya. Makanya, pihaknya tidak asal melakukan fogging. Fogging, lanjutnya, memang salah satu alternatif cara penanganan DBD. Namun yang lebih ampuh penanganannya yakni penerapan 3M. Warga bisa menanam-tanaman lavender untuk usir nyamuk, dan setiap tempat penampungan air seperti bak, selain ditutup juga bagusnya diberikan ikan cupang. Selain melumat lumut, juga akan memakan jentik nyamuk. “Penanganan secara kimia, kita berikan lavasida atau yang sering kita sebut dengan abate. Nah pada penggunaan abate juga sering salah menggunakannya. Cara menggunakan abate yaitu pada plastik kecil, kita isi air, lalu kita beri abate yang dimasukkan ke dalam plastik. Lalu kita berikan lubang-lubang kecil. Selain bisa bertahan lama, juga air dalam bak tidak mudah keruh,” pungkasnya. Sebelumnya, salah satu tokoh pemuda Desa Japura Kidul, Ahmad Syatori mengatakan, dalam dua bulan terakhir warganya banyak terserang DBD. Dari 11 orang yang diduga terjangkit DBD, ada tujuh orang yang teridentifikasi, yakni Ahmad Rifai (5), Khusnul Khotimah (10), Mukiyah Azalah (3), Fauzan (10), Tio (5), Halwa (1) dan Rio (6). Dari tujuh warga yang terserang DBD, dua di antaranya masih berada di rumah sakit. “Halwa dan Rio yang masih berada di rumah sakit,” ujar Syatori. Pihaknya sangat menyayangkan langkah yang sangat lambat dari aparat yang berwenang. “Kami selaku warga sangat kecewa karena langkah pemerintah sangat lambat dalam menangani DBD. Terlebih lagi Dinkes yang belum sama sekali melakukan fogging,” tutur Syatori. Kepala Puskesmas Astanajapura dr Zaenal mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menerima laporan adanya warga yang terkena DBD. “Memang kita mendapatkan informasi itu, tapi setelah kita telusuri kita belum menerima adanya surat keterangan resmi dari RS. Kami meminta keluarga untuk menyampaikan surat keterangan resmi dari rumah sakit. Supaya lebih cepat dan gampang ditangani,” jelasnya. (den)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: