(1) Napak Tilas dengan Pesawat Bekas Perang Dunia II; Di Angkasa Pulau Jawa Mesin Mati

(1) Napak Tilas dengan Pesawat Bekas Perang Dunia II; Di Angkasa Pulau Jawa Mesin Mati

Pesawat Douglas C-47 Skytrain menjadi andalan logistik tentara sekutu pada Perang Dunia (PD) II (1939–1945). Pada usia lebih dari 70 tahun, pesawat berbadan bongsor itu masih bisa terbang. Dari Australia menuju Tiongkok. Untuk menapaktilasi operasi pengiriman logistik melewati Pegunungan Himalaya. PENERBANGAN siang itu (18/8) sebenarnya terasa menyenangkan. Terbang satu jam meninggalkan Bandara Ngurah Rai, Bali, pada pukul 08.00 WITA, cuaca cerah menemani penerbangan menuju Johor Bahru, Malaysia. Dari take off menuju ketinggian jelajah, pesawat Douglas C-47 Skytrain terbang mulus-lus tanpa guncangan. Pesawat dengan panjang 19 meter itu cukup andal. Terbang dari Bathurst di ujung selatan Australia pada 15 Agustus, tidak ada masalah sama sekali. Memang, pesawat yang ditumpangi Bob Small, Alan Searle, Larry Jobe, Tom Claytor, dan Barry Arlow tersebut harus tiga kali “istirahat”. Di Longreach, Darwin, dan Bali. Namun, dengan usia lebih dari 70 tahun, tetap saja itu adalah capaian yang bagus. Tetapi, beberapa saat memasuki angkasa Pulau Jawa, sekitar 1,5 jam penerbangan, masalah muncul. Claytor yang sedang menyiapkan oli mesin melihat kepulan asap pada mesin di sayap sebelah kiri. Dalam hitungan detik, percikan api sudah mulai terlihat. Mencegah kerusakan lebih besar, Claytor meminta Searle –yang saat itu sedang mengendalikan pesawat– mematikan mesin sebelah kiri. Mau tidak mau, mereka mesti melakukan pendaratan darurat karena salah satu mesin mati. Saat itu, dari alat navigasi, terlihat yang paling dekat adalah Surabaya. “Saya melihat titik-titik merah untuk pendaratan di layar navigasi. Dan saya melihat titik paling dekat adalah Surabaya,” kata Claytor kepada Jawa Pos saat ditemui di Merpati Maintenance Facility (MMF) Kamis (22/9). Di fasilitas yang ada di kompleks Bandara Juanda itu, C-47 Skytrain diperbaiki. Karena Searle (76 tahun) mengalami masalah pendengaran, Claytor-lah yang ditugasi untuk berkomunikasi dengan menara pengawas di Bandara Juanda. Apalagi, dia cukup lihai berbahasa Indonesia. ”Ketika itu saya dibantu petugas perempuan,” ucapnya. Saat itu sebenarnya sedang jam sibuk. Namun, karena pendaratan darurat, pengelola Bandara Juanda memberikan prioritas kepada pesawat C-47 Skytrain bernomor VH-XUX tersebut. Claytor bersama rekan-rekan merasakan pelayanan yang sangat bagus dalam pendaratan darurat itu. Semuanya telah disiapkan, mulai teknisi sampai pemadam kebakaran. ”Everything was perfect!” puji pria yang juga membuat film untuk National Geographic Asia tersebut. (Fajrin Marhaendra/Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: