APTRI Tolak Kebijakan Jual Bebas Gula Rafinasi ke Pasar

APTRI Tolak Kebijakan Jual Bebas Gula Rafinasi ke Pasar

CIREBON - Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menolak keras kebijakan Menteri Perdagangan yang memperbolehkan gula rafinasi dijual di pasar. Karena akan semakin membuat petani tebu merugi. Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan, sangat menolak kebijakan Mendag terkait diperbolehkannya gula rafinasi dijual bebas di pasar. “Kami sampaikan bahwa petani tebu menolak keras kebijakan tersebut,” ujar Soemitro. Dia menjelaskan, banyak faktor penolakan kebijakan Kemendag tersebut. Salah satunya aturan bahwa gula rafinasi hanya boleh dijual kepada industri makanan dan minuman sebagai bahan baku dan tidak boleh dijual ke pasar. \"Namun pada faktanya, gula rafinasi banyak bocor di pasar. Apalagi kalau dilegalkan, malah akan banjir gula,” ungkapnya. Soemitro mengatakan, dengan diperbolehkannya gula rafinasi dijual di pasar, maka tentu dalam negeri akan kebanjiran gula. Sehingga akan merugikan petani tebu. Dia menyebutkan, kebutuhan gula konsumsi 2,7 juta ton per tahun. Perkiraan produksi tahun ini 2,4 juta ton. Shingga hanya kekurangan 300 ribu ton. \"Saat ini, izin impor gula untuk kebutuhan konsumsi baik dari raw sugar maupun white sugar total ada 1.126.000 ton. Padahal kekurangan gula konsumsi hanya 300 ribu ton, sehingga ada kelebihan 826.000 ton. Nah, kalau masih ditambah gula rafinasi akan banjir gula,” terangnya. Soemitro pun menuding di balik kebijakan Mendag tersebut, ini hanya akal-akalan untuk melegalkan kelebihan 600.000 ton gula rafinasi, supaya masuk pasar. Perlu diketahui, kata Soemitro, kebutuhan gula rafinasi hanya 2,6 juta ton. Sementara izin impornya 3,2 juta ton. \"Kami heran kalau pemerintah menganggap harga gula tinggi. Saat ini, lelang gula tani hanya laku Rp 11.000-11.200/kg, sedangkan biaya produksi Rp 10.600/kg. Artinya, hanya ada keuntungan 4 persen selama setahun,” ungkapnya. Menurut Soemitro, harga gula saat ini masih sangat wajar. Kalau pemerintah mau harga gula murah, harusnya subsidi ke rakyat. Jangan sampai, petani disuruh menyubsidi rakyat. Karena petani di samping produsen, juga jadi konsumen. Sangat tidak fair kalau gula petani disuruh bersaing dengan gula rafinasi. Karena gula rafinasi berasal dari raw sugar impor yang biayanya murah, karena pabrik gulanya efisien. Sementara di Indonesia, pabrik gula tidak efisien karena mesinnya sudah tua. Seharusnya, pemerintah berpikir komprehensif, tidak hanya dari sisi konsumen saja, tapi harus memikirkan nasib petani tebu dan kelangsungan industri gula dalam negeri. Di samping itu, mestinya pemerintah tidak hanya fokus pada soal harga saja, tapi juga bagaimana melakukan langkah konkret untuk meningkatkan rendemen. Yakni dengan jalan meningkatkan kinerja pabrik gula dengan revitalisasi mesin-mesin pabrik yang sudah tua dan perbaikan manajemen pabrik. \"Janji menteri BUMN yang akan menjamin rendemen minimal 8,5 persen hanya omong kosong,” ujar Soemitro. (den)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: