Sastra Hadir, Bicara soal Kemanusiaan

Sastra Hadir, Bicara soal Kemanusiaan

MUSIKALISASI puisi, balada, panggung teater, diskusi, menjadi suguhan apresiasi Pojok Sastra keenam di Studio Kaliandra, Radar Cirebon Televisi (RCTV), Jumat (9/12) malam. Seiring peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, malam itu Pojok Sastra mengangkat tema Menggugat HAM 10/12, Membumi Pancasila. Isu HAM, Pancasila, dan sastra dipersoalkan dan dipertautkan dalam diskusi. Diskusi dipantik Alifatul Arifiati dari Fahmina dan Nissa Rengganis dari Rumah Kertas. Keduanya mengemukakan persoalan HAM dengan warna dan perspektifnya. Alif-sapaan akrabnya- sebagai pegiat HAM dan Nissa sebagai pegiat sastra. Menurut Alif, soal HAM bangsa Indonesia sudah memiliki landasan yang kuat, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Alif tampak enggan terjebak dalam perdebatan mengenai relevansi HAM dengan Pancasila dan UUD 1945. Dia menegaskan, apa pun landasan hukumnya, setiap manusia memiliki hak asasi yang layak dihargai. “Apa pun yang kita pakai, HAM atau UUD 1945, yang terpenting adalah bangsa ini mengerti dan memahami bagaimana cara menghormati hak asasi. Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki hak-hak asasi,” katanya. Di sisi lain, Penyair Nissa Rengganis menyoroti kembali peran sastrawan dan penulis dalam menangkap kegelisahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Di tengah hiruk pikuk politik yang pragmatis, Nissa mengajak publik menengok kembali pemikiran Pramoedya Ananta Toer. Menengok kegelisahan Seno Gumira Ajidarma sebagai seorang jurnalis yang dibungkam lalu sastra menjadi senjatanya. Pergulatan batin Pramoedya dipaparkannya melalui penokohan yang apik dalam tetralogi Buru. Serta Seno Gumira Ajidarma yang menggunakan bahasa sastra ketika mengisahkan konflik Dili, Timor Timur, dengan menulis kumpulan cerpen Saksi Mata saat disensor redaksi di media tempatnya bekerja. Menurut Nissa, dari dua karya Parm dan Seno mengandung banyak sekali pelajaran bagi bangsa ini. Sastra hadir, bicara soal kemanusian. Menjadi ruang yang jujur, tidak asyik mansyuk dengan segala kepentingan pragmatis. “Seorang penulis memiliki tanggung jawab kemanusiaan. Karena itu, sudah selayaknya, penulis mampu menangkap dengan baik fenomena sosial dan mengusung gagasan kemanusiaan dalam karyanya,” ungkapnya. Di tengah diskusi HAM dan Pancasila, sejumlah elemen komunitas seni seperti Tjaruban Inc, Teater Awal, Senja Sastra, Komunitas Terang Sore, Kopi Pagi, Saung Rasa, Teater Dugal, Komunitas Blog II, Maha Nusa, Rumah Deklamasi, Komunitas Tanah Merah serta Lawan Teater, meramaikan malam apresiasi Pojok Sastra. Malam itu juga sejumlah anak SDN Karangasem, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon, datang menyemarakkan Pojok Sastra. Pembacaan puisi, tari topeng, seni hadrah, seni pencak silat ditampilkan siswa-siswi sebagai bentuk apresiasi. (ttr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: