Puluhan Tokoh Bangsa Soroti Gejala Intoleran

Puluhan Tokoh Bangsa Soroti Gejala Intoleran

JAKARTA- Isu toleransi menjadi tema sentral dalam Silaturahmi Tokoh Bangsa Ke-4 yang digagas PP Muhammadiyah tahun ini. Semua tokoh yang hadir mencemaskan semakin menguatnya gejala intoleransi di tengah masyarakat. Rohaniwan Franz Magnis Suseno menyampaikan, tidak boleh ada orang yang hidup dalam ketakutan karena punya keyakinan tertentu. \"Mungkin kita tidak setuju dengan keyakinannya. Tapi, mari kita beri orang itu rasa aman,\" kata Romo Magnis di gedung Muhammadiyah kemarin (6/9). Indonesia, lanjut Romo Magnis, sebenarnya punya aset yang sangat besar untuk menjaga toleransi. Aset itu adalah NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi keagamaan terbesar. Bahkan, dia menyebut hubungan Katolik dengan Muhammadiyah dan NU belum pernah sebaik sekarang. \"Kami bisa bicara terbuka. Kalau ada masalah tidak pergi ke polisi, tapi langsung ke Muhammadiyah dan NU,\" katanya, lantas tersenyum. Meski begitu, imbuh Romo Magnis, negara punya kewajiban untuk menjalankan hukum. \"Jangan pernah membiarkan kekerasan terjadi,\" tegas dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, itu. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, semangat kerukunan hidup berbangsa harus dimulai dari intern dan antarumat beragama. Terutama dari kalangan ormas. \"Karena itu, kampanye kerukunan umat beragama harus menjadi isu serius,\" tegas Jimly. Ketua Umum Partai Hanura Wiranto berpandangan senada. Menurut dia, ketika semakin banyak orang merasa termarginalkan, diabaikan, dan tidak dipedulikan, budaya intoleransi akan semakin berkembang. \"Orang yang terlindungi hukum dengan baik, tersejahterakan, dan tercerdaskan nggak mungkin berbuat intoleran,\" terang dia. Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung menuturkan bahwa kepemimpinan yang muncul harus mampu menunjukkan visi kenegarawanan. Kepemimpinan itu, lanjut dia, tidak boleh terlibat dalam konflik kepentingan pribadi atau golongan. \"Karena hanya akan membuatnya tidak mampu memosisikan diri sebagai pemimpin bagi semua warga,\" ujar Akbar. Dia juga menyoroti peran pemuka masyarakat dan agama. Akbar menilai, sering para tokoh itu tidak memperlihatkan pandangan-pandangan yang memberikan keteladanan terhadap keanekaragaman. Salah satu penyebabnya, mereka juga terlibat dalam tarik ulur kepentingan. \"Kadang-kadang pemimpin tidak berani karena terjadi konflik kepentingan juga. Mereka takut tidak diakui lagi keabsahannya sebagai tokoh atau ulama,\" papar Akbar. Dalam dialog yang berjalan gayeng itu, turut berbicara Ketua DPD Irman Gusman, anggota DPD A.M. Fatwa, mantan Mendiknas Bambang Soedibyo, serta Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem\"Hary Tanoe bersama Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capella. Ada juga Ketua DPP PAN Tjatur Sapto Edy, sejarawan Taufik Abdullah, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyampaikan bahwa konflik sosial dan gejala intoleransi merupakan masalah bersama. Bila dibiarkan, masalah itu secara sistematis dapat menggoyang sendi-sendi negara kesatuan. \"Padahal, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sekarang sangat diapresiasi di luar negeri,\" tutur Din. Dia mengharapkan paham toleransi terus disebarkan kepada rakyat. \"Ormas punya tanggung jawab. Pemerintah juga punya tanggung jawab,\" tandasnya. (pri/c11/agm)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: