Biaya Sekolah Tinggi, Gaji Habis Dipotong Pinjaman dan Kebutuhan

Biaya Sekolah Tinggi, Gaji Habis Dipotong Pinjaman dan Kebutuhan

Ternyata bukan hanya wong cilik yang mengeluhkan kian melangitnya biaya pendidikan di kota ini. Karena dianggapnya sudah tidak sanggup lagi menahan beban, sejumlah PNS di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon sangat risau akan kelangsungan nasib pendidikan anaknya karena mahalnya biaya. SUHENDRIK, Cirebon “SAYA sudah tidak tahu lagi harus mengeluhkan ini ke siapa. Kami yang sudah jelas-jelas kata orang pejabat saja, melihat biaya pendidikan sekarang semakin tidak rasional,” ujar PNS yang keberatan namanya dikorankan, Selasa (13/7). Dia menceritakan anaknya saat ini bersekolah di SMAN 1 Kota Cirebon. Meski sudah memilih besaran sumbangan terkecil untuk sekolah, tetap saja sumbangan yang terkecil itu nilainya Rp7 juta. Belum lagi SPP yang harus dipenuhi setiap bulannya sebesar Rp300 ribu. Sementara 3 anak yang besekolah 3, dirata-ratakan Rp1 juta saja untuk biaya sekolah. Belum lagi, kata dia, yang namanya PNS hampir pasti memiliki pinjaman di Bank Jabar Banten, artinya setiap bulan harus membayar cicilan. Jika dialokasikan untuk melunasi pinjaman sebesar Rp1 juta, maka pengeluaran pasti setiap bulannya adalah Rp2 juta. Sementara gaji resmi bulanan yang diterima sebesar Rp3 juta. Walhasil, tinggal Rp1 juta yang tersisa dialokasikan untuk biaya makan dan operasional rumah tangga seluruh anggota keluarga selama satu bulan. “Cukup tidak cukup Rp1 juta yang tersisa digunakan untuk makan dan bayar kebutuhan lainnya, seperti bayar rekening air, listrik, telepon, transport ke kantor. Coba begini nasib kami yang menerima hanya gaji formal,” ungkap PNS yang sehari-hari bergelut dengan dunia pengawasan dan audit ini saat dijumpai di lapangan Kejaksan. Dia memohon kepada para pembuat kebijakan pendidikan di kota ini untuk bisa mendengarkan keluhan. Karena yang bersuara ini adalah orang yang bekerja sebagai PNS, artinya berpendapatan jelas bukan serabutan, terlebih yang serabutan. “Buat kami yang gajinya jelas saja berat apalagi para buruh kan. Tolong dengar. Sebelum sekolah bersama dengan komite sekolah memutuskan ketentuan biaya,” ungkapnaya. Senada diungkapkan juga PNS memiliki jabatan struktural di lingkungan Pemkot. Sebetulnya meski menjadi bagian dari birokrasi bukan berarti setuju dengan kebijakan yang diambil rekannya sesama birokrat di lingkungan pendidikan. Namun terkadang karena satu korps menyulitkan keinginan hati disuarakan di dalam, padahal dampaknya sangat terasa bagi pribadi saat biaya sekolah anak semakin tinggi. “Saya bingung. Saya hanya bisa bicara dengan wartawan. Biaya pendidikan semakin tidak karuan, belum sekolah saja disodori biaya ini itu,” katanya yang menyekolahkan anaknya di SMPN 4 Kota Cirebon ini. Bagi PNS yang memilih untuk menerima pendapatan seadanya, ucap dia, maka biaya sekolah sekarang sudah sangat bersinggungan tajam dengan biaya hidup. “Sungguh pahit bila melihat realita di internal birokrasi. Kami saja yang sesama PNS sudah sangat berat membiayai pendidikan anak,” papar pejabat pemegang wilayah administratif ini. Terpisah, guru SD I Jagasatru  Titin Sumartini AMa Pd, menegaskan siswa di sekolahnya tidak dipungut biaya operasional. Sehingga tidak beralasan apabila ada anak yang keluar dari sekolah karena tidak mampu. Justru yang ada, seperti dialami Roni dan diberitakan di koran kemarin, dia keluar bukan karena biaya, tapi minder dengan teman yang lain karena belum bisa membaca meski sekarang telah duduk di bangku kelas 3. “Di SD I Jagasatru tidak dipungut biaya. Dan Roni keluar dari sekolah bukan karena biaya tapi minder belum bisa membaca. Faktanya sekarang Roni sudah bersekolah lagi di sekolah kami,” ungkapnya saat datang ke Graha Pena, Kantor Redaksi Radar Cirebon. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: