Warga 7 Negara Dilarang Masuk AS, Indonesia Harus Bersikap
JAKARTA- Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai keamanan perbatasan dan penegakan peningkatan imigrasi menuai banyak penolakan. Sebanyak tujuh negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam dilarang masuk Amerika Serikat untuk alasan apapun. Para pemegang visa Amerika Serikat atau green card dari tujuh negara itu tidak diperkenankan masuk. Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai bahwa kebijakan tersebut tidak bagus. Terlebih, kebijakan tersebut terkesan membuat stereotype atau labelling bahwa seseorang yang berasal dari tujuh negara tersebut sudah pasti teroris dan dapat mengganggu keamanan Amerika Serikat. Dalam kebijakan ini, Trump, kata Hikmahanto, sudah melebihi core values dari Amerika Serikat yang antidiskriminasi. Kendati tidak menyasar Indonesia, kebijakan tersebut juga membuat WNI di Amerika Serikat ketar-ketir. Terlebih, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Bukan tidak mungkin juga Indonesia terkena dampak kebijakan baru Trump itu. Hikmahanto mengaku khawatir kebijakan itu merembet ke Indonesia jika Trump diberi masukan bahwa pelaku teror kerap berasal dari Indonesia. “Terlebih kalau Trump menganggap di Indonesia banyak yang menjalankan Islam radikal. Pemerintah harus mewaspadai kebijakan moratorium ini,” kata Hikmahanto kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin. Namun, Hikmahanto mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu reaktif dalam menanggapi kebijakan tesebut. Sementara ini, Indonesia sebaiknya tetap menunggu dan melihat situasi serta kondisi penerapan kebijakan tersebut. “Kan kebijakan itu sedang didemo dan sudah ada yang bawa ke pengadilan. Indonesia tidak perlu reaktif,” tambahnya. Berbeda dengan Hikmahanto, Imam Besar Masjid New York Syamsi Ali justru meminta Indonesia untuk bersikap. Turki dan beberapa negara Islam lainnya sudah bersikap. Menurut Syamsi, kebijakan Trump jelas diskriminatif dan tak boleh dibiarkan. “Minimal ada suara resistensi yang bilang (kebijakan) itu salah. Ini kan memecah belah atas pertimbangan agama,” katanya. “Saya kira pemerintah Indonesia harus ambil sikap dan menyuarakan. Begitu juga negara Islam yang lain. Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan yang lainnya,” tambahnya. Syamsi yakin akan ada lebih banyak demo dan aksi dalam beberapa hari ke depan. Bukan hanya oleh masyakat beragama muslim, tapi masyarakat Amerika secara umum. Syamsi menuturkan bahwa kebijakan berbau rasis itu bertentangan dengan konstritusi Amerika Serikat. Menurut Syamsi, selama ini, Amerika Serikat dikenal sebagai negara imigran. Kebanyakn penduduknya merupakan imigran. Termasuk Donald Trump dan Istrinya. Dan itu sudah menjadi jati diri Amerika Serikat. “Kebijakan yang ada sekarang tentu bertentangan. Jelas bahwa mayoritas masyarakat Amerika Serikat tidak setuju,” terangnya. Menanggapi penerapan kebijakan yang sudah mulai memakan korban itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi meminta seluruh perwakilan Indonesia di Amerika Serikat untuk mengaktifkan hotline 24 jam. Retno juga mengimbau WNI yang bermukim di Amerika Serikat untuk tetap tenang. Imbauan dari perwakilan Indonesia di Amerika Serikat memang sudah tersebar luas. Namun, hal tersebut tidak cukup menenangkan para WNI yang tinggal di Amerika Serikat. Suci Brooks (31) salah satunya. Memang, setelah pemberlakukan kebijakan tersebut belum ada perubahan signifikan yang sirasakan Suci. Namun, perasaan waswas tetap menghantuinya. “Ada notion di antara komunitas ENO di sana untuk jangan meninggalkan US dulu sampai situasi lebih jelas. Takutnya terkena impact kebijakan Trump,” kata Suci kemarin. Menurut Suci, notion terebut keluar karena ada kekhawatiran Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam jadi salah satu negara yang “diawasi”. ”Mereka menyarankan untuk jangan keluar Amerika Serikat dulu karena takutnya nanti susah masuk lagi,” cerita perempuan yang setahun terakhir tinggal di Huntsville, Alabama, itu. Suci mengakui bahwa belakangan ini, kondisi Amerika Serikat semakin berantakan. Terlebih sejak pemberlakukan kebijakan tersebut. Demo besar-besaran terjadi di bandara-bandara di Amerika Serikat. Karena demo itu juga, situasi semakin chaotic. “Demo berlangsung di bandara-bandara international di beberapa states. Seperti di LAX,” ucapnya. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan Kemlu untuk mengantisipasi adanya WNI yang terkena imbas kebijakan tersebut. Menurut Iqbal, salah satu komponen penting dalam executive order tersebut adalah kebijakan penangkapan dan deportasi terhadap imigran gelap yang pada pemerintahan sebelumnya dilindungi dengan adanya Sanctuary Policies di beberapa kota dan county (setingkat kabupaten). Iqbal menjelaskan bahwa jumlah imigran gelap asal Indonesia cukup banyak. Kendati tidak memiliki data pasti, berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada 2015, Iqbal menuturkan ada kurang lebih 40 ribu imigran gelap asal Indonesia di seluruh Amerika utara. “Tapi, kami yakin jumlah itu tidak akurat,” ucapnya. Dari 40 ribu imigran gelap asal Indonesia di Amerika utara, sebagian besarnya bermukin di Amerik Serikat. Berdasarkan perhitungan pada akhir 2015 lalu, perkiraan jumlah WNI overstayers di Amerika Serikat mencapai 34.390 orang. “Karena estimasi jumlah yang demikian besar itulah, Menlu minta seluruh Perwakilan RI di Amerika untuk melakukan antisipasi dalam rangka memastikan keselamatan dan perlindungan maksimal bagi WNI,” terangnya. (and)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: