Rekrutmen Hakim MK Harus Dirombak Total

Rekrutmen Hakim MK Harus Dirombak Total

Perbaikan rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi (MK) semakin mengemuka pasca tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistem rekrutmen hakim MK dinilai memiliki celah yang harus benar-benar ditutup. REKRUTMEN hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU yang kemudian diubah dengan UU 8/2011 itu ada dua hal yang diatur. Yakni, mengenai partisipasi lembaga dan persyaratan menjadi hakim. Persyaratan itulah yang banyak disorot karena dianggap menjadi pangkal persoalan perilaku hakim. Setidaknya, ada dua syarat yang dinilai berpengaruh besar pada perilaku hakim. Pertama, adalah syarat negarawan, dan yang kedua adalah persyaratan umur yang dibatasi minimal 47 tahun. “Seharusnya, hakim konstitusi itu harus senior,” tutur mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Dia menuturkan, seharusnya ada perubahan dalam sistem rekrutmen hakim. “Lebih tua lebih baik, lebih matang. Kapan itu, ya mulai 60 tahun,” lanjut Pria kelahiran 1956 itu. Memang, saat awal dibentuk, MK perlu hakim berusia muda agar lebih agresif dalam mebangun institusi. saat ini, MK sudah matang sacara institusi sehingga harus ada perubahan dalam usia hakim. Dengan perubahan syarat usia itu pula, masa jabatan hakim MK tidak perlu lagi menggunakan periodesasi seperti saat ini. Cukup dibatasi dengan usia 70 tahun. Sehingga, hakim MK akan menjabat maksimal 10 tahun. Bila saat rekrutmen usianya sudah 65, maka dia hanya memiliki masa jabatan lima tahun. Itu juga akan membuat pergantian hakin tidak perlu dilakukan serentak, sehingga organisasi tetap stabil. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa hakim MK harus senior. Hakim yang senior akan lebih mampu menguasai substansi masalah. Kemudian, hakim senior ralatif tidak lagi memburu uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Sehingga, dia bisa fokus menjadi seorang negarawan yang mengawal konstitusi. Poin negarawan itu juga disoroti oleh Jimly. Menurut dia, negarawan yang menjadi hakim MK sebaiknya bukan akademisi murni. ’’Nanti dia akan bodoh secara sosial dan politik,’’ ujar mantan Anggota Wantimpres itu. Menurut Jimly, seorang negarawan yang akan menjadi hakim MK justru harus punya pengalaman politik. Pria kelahiran Palembang itu juga menyoroti teknis rekrutmen yang dilakukan ketiga lembaga. Baik Presiden, DPR, maupun MA. Sampai saat ini, baru DPR yang memiliki peraturan teknis mengenai rekrutmen hakim MK representasi legistlatif. Sementara, lembaga Presiden belum memiliki aturan serupa berupa perpres, dan MA belum memiliki Perma untuk itu. Sembilan hakim konstitusi memang dipilih oleh tiga lembaga. Masing-masing mengajukan tiga orang. Sehingga, posisi MK berada di tengah-tengah antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sayangnya, belum ada aturan teknis baku di lembaga eksekutif dan yudikatif dalam merekrut hakim MK. Bahkan, aturan teknis di DPR pun dia nilai belum sempurna karena masih memunculkan celah kepentingan. Hakim dari DPR bisa mundur dari dunia politik beberapa saat sebelum dilantik. “Jadi, ini perlu pengaturan total. Presiden harus ambil inisiatif untuk menata ulang sistem rekrutmen,” tambahnya. Baik pada UU MK maupun aturan teknis di masing-masing lembaga representasi. DPR juga menyuarakan pembenahan rekrutmen MK. Anggota Komisi III DPR Adies Kadir menyatakan, perbaikan MK sangat mendesak. Dia mengusulkan agar rektrutmen hakim MK sama dengan hakim MA. “Diseleksi Komisi Yudisial (KY) dan ditetapkan DPR untuk diterima atau ditolak,” terang dia. Jadi, lanjut dia, tidak ada lagi tim seleksi (Timsel) untuk hakim MK. Tidak ada lagi jatah pemerintah, jatah MA dan jatah umum. Begitu juga untuk sistem pengawasan hakim. Menurut dia, pengawasan bisa dilakukan oleh KY, sebagai lembaga pengawas, penegak etika dan perilaku hakim. Politisi Partai Golkar itu menyatakan, hakim konstitusi tidak lagi diawasi oleh Dewan Etik saja, tapi pengawasan diserahkan ke KY. Komisi III, papar Adies, akan secepatnya mengelar rapat terkait persoalan MK setelah Patrialis tertangkap. Usulan itu akan disampaikan dalam rapat dan dibahas secara serius. Pemerintah juga akan diundang untuk menyelesaikan persoalan yang mencoreng nama MK tersebut. Muhammad Nasir Djamil, anggota Komisi III menyatakan, untuk memperbaiki MK, harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang MK sendiri. Terutama yang berkaitan dengan rekutmen. Jadi sistem yang sudah ada harus dirombak. Selama ini dari tiga institusi yang merekrut hakim, hanya DPR yang transparan dan melibatkan masyarakat. Sementara pemerintah dan MA tertutup. “Tiba-tiba ada hakim yang berasal dari pemerintah dan MA,” papar politisi PKS. Tanpa mengubah undang-undang, lanjut dia, akan sulit melakukan perbaikan dalam menjaring calon hakim. Komisinya sangat serius terkait usulan revisi undang-undang. Hal itu perlu dilakukan agar kedepannya integritas hakim benar-benar teruji dan tidak ada lagi hakim yang ditangkap KPK. Tertangkapnya Patrialis mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia. Sebab, posisi MK sangat penting. Jika ada persoalan, maka akan menjadi sorotan dunia internasional. Dia berharap, penangkapan itu menjadi pelajaran bagi semua pihak. Sementara itu, pemerintah juga menjanjikan perbaikan dalam rekrutmen. Salah satunya, mengingat bahwa Patrialis merupakan hakim MK yang diajukan oleh eksekutif. “Rekrutmen menjadi penting, dan ke depan harus lebih baik,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Saat ini, pihaknya masih menunggu surat resmi dari MK untuk meminta hakim baru kepada pemerintah. Bila Presiden sudah menerima surat itu secara resmi, barulah pemerintah membentuk tim untuk menyeleksi calon hakim untuk mengisi posisi Patrialis. Pramono menjanjikan seleksinya bakal diperketat untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menuturkan bukan hanya pola rekrutmen yang harus diperbaiki. Tapi, pengawasan para hakim itu harus melekat. Dia tidak menyarankan untuk pembentukan badan baru untuk pengawasan hakim itu. Tapi, cukup pengawasan nomor telepon para hakim. “Sadap saja terus menerus dari menit ke menit. 24 jam sehari,” ujar dia kemarin. Penyadapan itu menjadi kunci agar para hakim itu tidak main-main dengan kekuasaan yang mereka miliki. Sebab, awal mula potensi korupsi itu bermula dari perbincangan atau komunikasi. “Sadap mulai dari yang bawah sampai yang tinggi,” tambah dia. Margarito menuturkan perlu pula mengevaluasi prosedur penyelesaian perkara. Dalam kasus uji materi peternakan misalnya perkara tersebut sebenarnya sudah selesai sidang sejak lama. Tapi, tidak kunjung diputuskan. “Semua dokumen dan saksi sudah diperiksa. Tapi tidak segera diputus bisa bertahun-tahun. Ini musti yang dibuat beres,” jelas dia. Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengungkapkan pola rektutmen itu diserahkan pada tiga lembaga negara yakni pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan berharap orang-orang yang dipilih itu telah selesai dengan urusan duniawinya. ”Tinggal mengabdi pada nusa dan bangsa saja,” ujar dia. Dia menuturkan dewan etik telah mengusulkan pembentukan majelis kehormatan yang secara khusus menangani Patrialis. Majelis itu rencana akan diisi oleh lima orang. Yakni, Wakil Ketua MK Anwar Usman, mantan hakim konstitusi Prof Ahmad Sodikin, guru besar ilmu hukum Prof Bagir Manan, dr HC As’ad Ali Said (tokoh masyarakat dari NU), dan seorang dari komisi yudisial. ”Majelis kehormatan nantinya akan menentukan apa pelanggaran etik berat dan sanksinya,” ujar pria yang sedang menempuh program doctoral di Universitas Brawijaya itu. Majelis kehormatan berwenang untuk mengusulkan pencopotan dan pengisian kembali. Fajar menuturkan waktu yang dimiliki majelis kehormatan itu relatif lama, tapi bisa berlangsung lebih cepat. ”Melanggar pidana seperti korupsi itu pelanggaran etik berat. Tapi, majelis kehormatan tidak fokus pada pidananya hanya etiknya,” imbuhnya. Pria asal Jogjakarta itu menegaskan MK terus berbenah diri. Dua kasus korupsi yang telah terjadi di MK akan menjadi pelajaran yang sangat berharga. Tapi, dia tidak terima bila MK harus dibubarkan lantaran ada hakim yang korupsi. “Ibaratnya kalau ada tikus di rumah ya tikusnya diberesin. Bukan rumahnya yang dibakar atau dirobohkan,” kata dia. (byu/lum/jun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: