Kasus Pemecatan 116 Guru, Al Zaytun Dilaporkan ke Komnas HAM
JAKARTA - Pemecatan sepihak oleh Ponpes Al Zaytun mebuat Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) gerah. Mereka mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan pengelola Ponpes Al Zaytun ke Komnas HAM. Langkah tersebut diambil menyusul hasil analisis tim advokasi FSGI. Mereka menilai, pengelola Ponpes Al Zaytun telah melakukan pelanggaran HAM dengan memecat 116 guru tanpa komunikasi maupun pemberitahuan. Sekjen FSGI Retno Listyarti menduga, terjadi pelanggaran HAM pasca menelusuri pemecata sepihak terhadap ratusan guru tersebut. Dia menjelaskan, ratusan guru yang sudah mengabdi belasan tahun sama sekali tidak diajak berkomunikasi. Bahkan, niatan mereka untuk bertatap muka dengan pengelola Ponpes Al Zaytun tidak kunjung terpenuhi. “Guru yang sudah mengabdi lama dipecat begitu saja,” ujarnya, Kamis (9/2). Padahal ratusan guru tersebut sudah memiliki nomor urut pendidikan dan tenaga kependidikan (NUPTK). Tidak hanya itu, mereka juga sudah tersertifikasi pemerintah. “Tapi, diberhentikan tanpa pemberitahuan. Baik lisan maupun tulisan,” jelas perempuan yang akrab dipanggil Retno itu. Lebih dari itu, pengelola Ponpes Al Zaytun juga abai terhadap tanggung jawab memberi pesangon kepada ratusan guru yang dipecat. “Tidak prosedural,” tegas dia. Menurut Retno, pemecatan sepihak terhadap ratusan guru Ponpes Al Zaytun melanggar UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga turut didobrak. Dalam UU tersebut, sambung dia, pasal 30 dan 31 jelas mengatur proses pemberhentian guru. “Harus diberi kesempatan pembelaan diri,” ujarnya. Namun, itu tidak diberikan pengelola ponpes yang resmi beroperasi sejak 1999 tersebut. Tiga kali surat peringatan (SP) yang mestinya keluar sebelum dilakukan pemecatan pun tidak pernah ada. Pelanggaran prosedur oleh pengelola Ponpes Al Zaytun, kata Retno, sekaligus membuktikan telah terjadi pelanggaran UU. Lebih dari itu, nasib ratusan guru tanpa kepastian. “Karir mereka dimatikan. Mereka juga sudah punya keluarga. Itu tidak dipikirkan (pengelola Ponpes Al Zaytun),” terangnya. Tindakan pengelola Ponpes Al Zaytun tidak akan menjadi soal apabila mereka menjalankan prosedur. Apalagi bila dibarengi penjelasan mengenai alasan pemecatan yang mereka lakukan. “Berkali-kali tawaran dialog tidak pernah bersambut. Surat permintaan konfirmasi tidak pernah dibalas oleh pengelola (Ponpes) Al Zaytun,” ucap Retno. Karena itu, FSGI bersama ratusan guru yang sudah di-PHK sepihak mengadu kepada Komnas HAM. Soal dugaan pelanggaran HAM, Retno menjelaskan, itu tampak dari pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola Ponpes Al Zaytun. Mulai pelanggaran prosedur sampai aturan yang mereka labrak. Dampak pemecatan yang juga dirasakan oleh keluarga ratusan guru semakin menguatkan pelanggaran itu. Retno berharap, Kementerian Agama (Kemenag) segera mengambil langkah cepat. “Sekarang negara masih diam. Kami minta mereka bergerak,” pintanya. Apabila Kemenag tidak kunjung mengambil sikap, sambung Retno, konflik antara guru dengan pengelola Ponpes Al Zaytun bakal menjadi preseden buruk. Kejadian serupa bukan tidak mungkin menimpa guru di lembaga pendidikan swasta lain. Untuk itu, dia meminta negara hadir. Membela ratusan guru yang diabaikan haknya juga menuntaskan masalah yang terjadi. ”Kalau dibiarkan, akan menjadi ancaman bagi guru di seluruh Indonesia,” ucap dia. Sarju, koordinator guru korban pemecatan Ponpes Al Zaytun mengungkapkan, dia bersama ratusan guru lain tidak pernah memiliki niat buruk terhadap pengelola. Mereka hanya meminta penjelasan. Sebab, sampai saat ini tidak satu pun guru yang dipecat mengetahui kesalahan mereka. “Kalau diberhentikan. Kami minta pesangon,” kata dia. Namun demikian, bila tidak kunjung mendapat kepastian, mereka tidak segan bertindak lebih jauh. Bersama FSGI, mereka berniat berdemo di kantor Kemenag. (syn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: