Junalisme vs Hoax

Junalisme vs Hoax

AMANAT Presiden RI Joko Widodo dalam Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon pada 9 Februari 2017 begitu telanjang. Media arus utama jangan kalah oleh berita hoax yang bertebaran di media sosial.   Amanat itu memperlihatkan orang nomor satu di Republik ini begitu terganggu dengan riuhnya berita-berita fitnah, ujaran kebencian yang kini seperti tak terbendung memasuki ruang ruang private warga. Intensitas berita tak jelas yang minim verifikasi dari hari ke hari kian massif. Kondisi ini menjadi tantangan paling jelas yang harus dihadapi oleh jurnalisme arus utama. Jika dalam ranah jurnalisme selama ini dibingkai dengan berbagai macam etika, berita hoax yang disampaikan kerap mengabaikan etika dan bahkan cenderung memantik permusuhan dan kemarahan. Dalam ranah jurnalisme, sebelum menyebarluaskan informasi ada rambu-rambu yang wajib dipenuhi. Secara ada beberapa lapisan yang harus dilalui ketika sebuah berita bisa disebarluaskan. Peranan gatekeeper  dalam media massa memiliki pernanan penting. Gatekeeper disini berfungsi untuk menyeleksi setiap konten berita mulai dari, gambar, tata bahasa, logika dan dampak sosial budaya dari sebuah berita.  Editor, redaktrur, redaktur bahasa hingga pemimpin redaksi adalah menjadi bagian dari para gatekeeper. Selain adanya gatekeeper, Bill Kovack dan Thomas Rosenstiel dalam bukunya The elements of journalism What Newspeople should Know and The Public Should Expect menulis minimal ada sembilan elemen jurnalisme lainya yang harus dipatuhi sebelum berita disebarkan. Jurnalisme wajib mencari dan menyampaikan kebenaran adalah elemen pertama. Elemen ini memang membingungkan. Karena kebenaran dari pandangan orang Islam belum tentu benar dari kalangan nasrani. Tetapi dalam kontek ini adalah kebenaran fungsional bukan kebenaran filosofis. Masyarakat ingin mengetahui kenaikan harga. Fluktuasi saham. Bencana alam dan lain sebagainya. Dalam konteks berita hoax peran gatekeeper sama sekali tidak terlihat. Jikapun ada sosok gatekeeper akan mengarahkan hanya kepada kepentingan kelompoknya saja. Tetapi mengetahui benar salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa jurnalis harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”  Idealnya jurnalisme wajib berhidmat kepada masyarakat.  Bukan kepada pemilik media, bukan kepada pemasang iklan dan  bukan kepada pemegang tampuk kekuasaan. Elemen selanjutnya adalah disiplin melakukan verifikasi. Dalam kondisi sekarang ini yang perlu melakukan verifikasi berlapis bukan hanya dari pihak media, tetapi kita sebagai khalayak dari media massa juga wajib melakukan verifikasi. Karena bilaelemen ini tidak dilakukan akan sangat dekat dengan berita hoax yang berujung pada kerancuan informasi. Bukti dampak buruk dari mempercapai informasi tanpa verifikasi ini begitu panjang. Contoh terdekat dari kasus ini adalah tawuran yang terjadi di Kandanghaur Indramayu belum lama ini. Penyebabnya masyarakat tersulut emosinya setelah beredar broadcast penyebaran informasi di media sosial. Informasi sesat perihal seorang warga yang tewas karena dianiaya oleh tetangga desanya. Padahal kematiannya disebabkan karena kecelakaan lalu lintas (Radar Cirebon : 10/01) Infrormasi yang langsung dipercaya dan dikunyah masyarakat ini menjadi pemantik konflik sosial. Akibatnya ratusan rumah rusak. Hubungan kekerabatan tak lagi terjaga. Elemen keempat dari jurnalisme adalah independensi. Indepen dari obyek liputannya. Perihal elemen keempat ini, media sosial sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai lawan dari media mainstream. Karena digerakan oleh pribadi dan masyarakat tanpa ada keinginan untuk meraih keuntungan secara bisnis. Tetapi yang terjadi sekarang baik media sosial maupun media mainstream kini telah terbawa oleh kepentingan kepentingan partikelir yang hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu. Akibat banyaknya berita hoax yang beredar berakibat langsung kepada kegaduhan dalam ruang publik. Identifikasi dari kegaduhan ini minimal bermuara pada lima hal. Pertama arogansi mayoritas yang menihilkan minirotas. Kekuasatan massa kerap dipertontonkan demi pemaksaan kehendak yang biasanya diawali dengan ajakan dan hasutan di media social. Kedua, sikap sektarian yang merajalela. Sikap ini menganggap faham yang diyakininya merupakan kebenaran absolut. Ketiga, perebutan kekuasaan politik yang minim etika. Keempat menguatnya kapitalisasi media dan terakhir melemahnya keterlibatan masyarakat dalam menyuarakan kepentingan publik. Elemen jurnalisme yang kelima adalah menjadi pemantau kekuasaan. Tidak hanya itu jurnalisme pun harus menjadi penyambung lidah yang tertindas. Media massa jangan hanya menjadi etalase para pejabat tanpa memberikan porsi kepada ordinary people. Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum public. Tempat publik berdiskusi. Selanjutnya jurnalisme harus membuat berita menjadi relevan dengan kondisi kekinian. Terakhir adalah nurani. Jurnalisme wajib berkiblat kepada nurani. Jika jurnalisme wajib memegang sembilan prinsip tadi begitu juga seharusnya media sosial yang dikendalikan oleh individu. Karena kegaduhan ruang publik dewasa ini sudah melewati ambang batas toleransi. Hoax, fitnah, dan ujaran kebencian makin tak terkendali. Etika publik di media sosial seolah tak berlaku sehingga orang dengan enteng menyerang, menghakimi, atau mengumpat dengan kata-kata kasar. Akibatnya, ruang publik tidak hanya gaduh, tetapi juga penuh dengan sampah informasi. Menggunungnya sampah informasi tidak semua orang menyadari akan bahayanya. Justru, sebagian justru menikmati,  sebagian yang lain mengambil manfaat dari situasi ini. Buntut dari maraknya sampah informasi di media sosial masyarakat cenderung melihat realitas berdasarkan kacamatanya sendiri. Realitas yang diusung sekelompok orang diyakini dan mendistorsi makna dan parahnya itu yang diyakini kemudian diperjuangkan.  Logika ruang publik pun mengalami penjungkirbalikan sedemikian rupa. Kesahihan sebuah aspirasi untuk diperjuangkan di ruang publik tidak lagi didasarkan pada seberapa kuat basis argumen yang mendasarinya, tetapi lebih pada seberapa kuat basis massa yang mendukungnya, (Kompas : 7/02) Untuk mengurai segala kegaduhan di media sosial ini perlu diruntut penyebabnya. Minimal ada lima identifikasi masalah yang menyebabkan menumpuknya sampah informasi ini. Pertama karena perebutan kekuasan yang tak bermuara pada etika. Lawan politik dianggap musuh. Segala cara dilakukan serangan agar lawan politik hilang basis massanya. Cara yang dilakukan untuk mencapai dahaga kekuasaan inipun dengan cara menyerang dengan fitnah, adu domba dan jauh trutness-kebenaran. Kedua,  benih sektarian yang tumbuh berkecambah. Apalagi jika sudah dibalut dengan baju suku, agama dan ras antargolongan. Ketiga, Kekuatan mayoritas yang menihilkan minortitas. Karena menjadi mayoritas merasa paling berhak duduk di kekuasaan. Keempat, Kian kuatnya paradigma kapitalisme yang siap menanak sampah informasi demi meraih simpati. Kelima, menipisnya kepekaan masyarakat terhadap fenomena sosial. Hal ini berujung pada hedonisme dan sikap permisif di tengah-tengah masyarakat. Padahal jika masyarakat telah teredukasi secara literasi, akan menjadi garda terdepan dalam penyortiran sampah informasi. SOLUSI Fenomena yang telah menjadi patologi ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlangsung. Pemerintah sebagai penyelenggara negara sudah seharusnya hadir sebagai bisa melakukan sterilisasi ruang publik. Sterilisasi bukan berarti memberangus media media yang dianggap kerap menyebarkan kebencian. Karena upaya ini jelas tidak efektif. Karena situs-situs terindikasi penyebar hoax ini bila ditutup akan hadir kembali dengan wajah baru. Edukasi literasi bisa dilakukan sebagai langkah awal untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat perihal sampah informasi. Edukasi melek media juga terus perlu digelorakan oleh seluruh elemen masyarakat. Selain itu, solusi dengan mengedapankan ayat ayat Ilahiah pun masih bisa dilakukan. Dengan catatan, pesan yang digelorakan adalah pesan pesan universal dari agama yang meliputi keadilan, kasih saying, peduli lingkungan, tepa selira dan jaran perdamaian masih bisa terus digelorakan kepada masyarakat.  Perang melawan berita hoax juga bukan hanya dengan melahirkan lembaga lembaga ad hoc seperti lembaga siber nasional, tetapi lebih kepada membangun masyarakat madani yang bisa saling mengawasi setiap ada berita hoax. Pada akhirnya kepercayaan publik kepada media arus utama jangan sampai terkhianati karena banyak media arus utama menyajikan berita hoax. Karena jika melihat dari idealitas sebuuah berita, berita hoax bukan hanya berita fitnah dan ujaran kebencian. Berita hoax juga bisa berita partisan, berita jauh dari kebenaran, dan berita tanpa verifikasi. (*)   Penulis : Abdul Jalil Hermawan Dosen Ilmu Komunikasi Unswagati dan Penggagas Proxy Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: