Toleransi Lubang Jalan
Waktu kecil, saya pernah diajari guru ngaji saya: Kalau menemukan paku di jalan, ambillah. Ada pahalanya karena mencegah bencana bagi orang lain. Lha kalau jalan rusak dibiarkan? Dosanya seperti apa ya? *** Paragraf di atas sederhana, bukan? Sangat sederhana. Sangat sederhana sekali. Amat sangat sederhana sekali. Ada paku di jalan, ambillah, ada pahalanya. Ada batu di tengah jalan, ambillah, ada pahalanya. Demi keselamatan diri sendiri dan orang lain. Sekarang kita balik. Ini habis (atau masih) musim hujan. Banyak jalan rusak. Ada yang sekadar kasar. Ada yang berlubang kecil-kecil. Ada yang berlubang lebar tapi tidak dalam. Ada lubang-lubang ukuran medium tapi dalam. Banyak jalanan begitu parah sehingga pergi ke kantor dari rumah rasanya seperti balapan Paris-Dakar. Kebetulan, saya orang yang lima hari setiap minggu bersepeda jauh. Sehari minimal 80 km, minimal kalau sedang santai tetap keliling 45 km (rahasia tetap kurus dan fresh). Entah berapa motor saya lihat terjatuh karena lubang. Mereka ngebut (salah sendiri), tidak melihat lubang (karena ngebut), lalu gubrak! Pernah suatu hari gerimis, saya dan teman-teman berhenti di pinggir karena kebetulan ada yang harus ganti ban gara-gara bocor (kena lubang). Tempat berhentinya dekat rel kereta api, yang sekelilingnya lubang-lubang. Gubrak! Satu motor jatuh. Gedubrak! Satu lagi motor jatuh. Brakkk! Lagi-lagi ada motor jatuh. Dalam waktu tak sampai sepuluh menit, kami melihat lima motor jatuh. Untung (ini Indonesia banget, selalu ada ”untung”), kecepatan tidak tinggi, jadi tidak ada yang cedera berat. Eh, begitu kami kembali bersepeda melewati rel itu, brakkkk, saya dan satu teman jatuh. Untung pelan. Tidak ada luka atau apa-apa. Walau agak sakit, kami lantas sempat tertawa. Mungkin karena kualat menghitungi jumlah motor yang jatuh… Saya tidak bisa membayangkan, dalam sehari ada berapa orang jatuh di situ. Hanya gara-gara kondisi jalan yang amburadul. Pada hari lain, ada teman lagi yang jatuh karena lubang. Sekali lagi, untung pelan, tidak ada cedera. Tapi, mobil di belakangnya harus mengerem. Nah, truk di belakang mobil itu ternyata ngebut (ini masalah lain lagi) dan tidak sempat mengerem tepat waktu. Brakkkk, ditabraklah mobil sedan kecil itu dari belakang. Tidak ada yang cedera. Tapi repot macam-macam urusan dan biaya. Akhir pekan lalu satu lagi kejadian. Kami sadar turunan itu agak berbahaya. Kondisinya berlubang-lubang. Khususnya di sisi kanan (cepat), sehingga banyak mobil menghindar ke kiri. Kami turun pelan-pelan. Eh, tetap saja satu orang tidak bisa menghindari lubang kecil tapi agak dalam. Brakkk, salto lah dia ke depan sepeda. Syukur, dia tidak apa-apa. Jatuhnya ”bagus”. Walau sepedanya mengalami kerusakan sehingga harus diangkut mobil untuk pulang. Di tempat yang sama, berkali-kali kami mendengar bunyi ”Dakkkk!” atau ”Brakkk!”. Yaitu bunyi mobil atau motor yang melaju kencang sehingga tidak sempat menghindari lubang di depannya. Walau tidak ada yang jatuh, pasti ada komponen yang kena dampaknya. Mungkin tidak rusak sekarang, tapi potensi rusak masa depan. Dari segala cerita brakk itu, saya harus mengakui kesabaran dan toleransi masyarakat Indonesia ini. Kadang kagum juga karena toleransi terhadap jalan rusak –yang notabene membahayakan nyawa– bisa lebih tinggi terhadap suku atau ras lain. Jalan tak kunjung diperbaiki, seolah menerima dengan lapang dada. Memaklumi siapa pun mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah itu. Diperbaiki bulan depan? Oh, tidak apa-apa. Paling hanya sepuluh atau seratus orang lagi yang akan jatuh dan terluka dalam sebulan ke depan. Diperbaiki minggu depan? Bagus! Maksimal sepuluh orang akan jatuh dan terluka dalam seminggu ke depan. Yang paling bikin saya geleng-geleng kepala adalah jalan yang katanya milik negara alias pusat. Karena pemerintah kota tidak bertanggung jawab, pemerintah provinsi juga tidak. Ngeri juga kalau dibayangkan bahwa yang bertanggung jawab atas jalan itu adalah mereka yang sama sekali tidak pernah melihatnya, apalagi melewatinya! Gubernur, bupati, dan wali kota sudah melobi ke pusat, tapi tetap saja harus menunggu paling cepat sebulan lagi jalan itu diperbaiki. Padahal, dalam hitungan menit, bahkan detik, kerusakan itu bisa makan korban jiwa! Maaf, untuk hal-hal seperti ini, saya harus mengacu lagi pada kisah-kisah di luar negeri. Bagaimana jalan rusak langsung diperbaiki pada hari yang sama. Bagaimana lubang begitu besar bisa tuntas dalam hitungan jam. Masyarakat aktif melaporkan, yang berwenang aktif memperbaiki. Seorang cyclist terjatuh karena lubang jalan di kawasan Dartford, Inggris. Dia langsung menuntut pemerintah dan mendapatkan uang pengganti yang kalau dirupiahkan bernilai ratusan juta. Bayangkan kalau setiap yang jatuh di sini diberi uang ganti rugi, biayanya pasti jauh lebih mahal daripada memperbaiki lubang jalan itu. Dan sebenarnya, sekarang masyarakat sudah membayar jauh lebih mahal. Misalnya, biaya rumah sakit kalau jatuh. Biaya perbaikan suspensi atau ban mobil atau motor. Biaya bahan bakar yang lebih boros karena harus lebih sering gas rem untuk menghindari lubang. Belum lagi kalau ternyata masalah di jalan itu berbuntut urusan dengan yang berwenang, dan ternyata ada lagi biaya-biaya lainnya. Ini belum menghitung manfaat ekonomi yang didapat kalau jalan itu mulus dan lancar. Barang dapat diantar lebih cepat, segala acara dan pertemuan yang menentukan ekonomi bisa berjalan lebih lancar, dan sebagainya. Karena itu, saya harus menegaskan lagi betapa hebatnya toleransi masyarakat kita terhadap lubang jalan! Sekarang kembali ke pelajaran dari guru ngaji saya dulu. Kalau kita mengambil paku di jalan mendapatkan pahala, maka kalau membiarkan jalan rusak, sebesar apa dosanya? Kalau pembunuhan bisa berbuntut penjara puluhan tahun, bahkan seumur hidup, lalai merawat jalan mungkin seharusnya bisa berbuntut hukuman sepuluh kali seumur hidup. Karena jumlah korbannya bisa jauh lebih banyak… (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: