Pemkab Majalengka Tidak Revisi RPJMD, Justru Ragukan Data Indikator BPS

Pemkab Majalengka Tidak Revisi RPJMD, Justru Ragukan Data Indikator BPS

MAJALENGKA – Realisasi sejumlah indikator pembangunan dari target yang dicanangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) 2014-2018 masih jauh. Meski demikian, tidak membuat Pemkab Majalengka merevisi target. Justru pemkab akan memaksimalkan potensi agar pada akhir periodesasi RPJMD capaiannya bisa optimal. Di sisi lain, pemkab justru meragukan angka dan data yang muncul dari indikator pembangunan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Angka dan data tersebut dinilai menghambat pemerintah daerah merumuskan perencanaan program-program pembangunan. Bupati Sutrisno menjelaskan, saat ini ada beberapa indikator makro pembangunan daerah yang masih jauh dari target yang dicanangkan. Seperti angka kemiskinan, indeks pembangunan manusia (IPM), dan sebagainya. Namun, pemkab tidak punya waktu untuk merevisi di dua tahun terakhir masa jabatan. “Waktu untuk merevisinya tidak ada, kita akan teruskan dan maksimalkan potensi yang ada dan mengubah pola-pola perencanaan. Kita tahu fakta dan ukuran keberhasilan pembangunan ini sudah luar biasa, justru yang harus diperbaiki adalah data statistiknya,” ujar Sutrisno, usai membuka pra musrenbang, Selasa (7/3). Bupati tidak menghawatirkan jika pada akhir periode masa jabatannya, masih terdapat indikator makro pembangunan yang belum memenuhi target RPJMD. Bagi dia, yang penting di akhir masa kepemimpinannya masyarakat bisa melihat dan merasakan langsung dampak kemajuan yang pesat selama dia memimpin Kabupaten Majalengka. Apalagi yang mengukur indikator-indikator tersebut adalah BPS. Meski BPS diberi kepercayaan oleh undang-undang untuk mengukurnya, Pemkab juga berencana akan mengukur dan memiliki versi tersendiri dalam mendata angka-angka tersebut. Selama ini BPS sering beralasan keterbatasan tenaga dan menghitung sampel saja. “Saya hanya mengingatkan agar BPS dapat memperbaiki data dan angka yang mereka sajikan agar lebih valid. Kalau data itu tidak valid, akan menghambat proses perencanaan dan menghamburkan uang daerah. Harga diri daerah juga akan turun ketika data yang disajikan tidak sesuai fakta di lapangan,” sebutnya. Pihaknya telah menginstruksikan para penyuluh Pos KB agar turun ke desa-desa secara massif, mengecek di lapangan kondisi kemiskinan yang sebenarnya. Dia juga meminta Bappelitbangda segera koordinasi dengan BPS untuk verifikasi data sebelum menjadi dokumen resmi daerah. “Saya akan terus berjuang agar data dan angka statistik daerah ini bisa diperbaiki agar lebih valid. Ketika tidak selesai di tingkat kabupaten, saya akan terus berjuang hingga ke tingkat provinsi bahkan ke pusat. Agar data dan angka BPS bisa diperbaiki pola dan metode penghitungannya,” tegasnya. Dia mencontohkan, pihaknya mendapatkan data dari BPS bahwa ada 5 ribu anak usia sekolah di luar ruang sekolah. Namun ketika disisir ke lapangan oleh stakeholder di sektor pendidikan, ternyata tidak sampai 10 persen dari 5 ribu. Justru anak usia sekolah lebih banyak di lingkunan pendidikan (sekolah). Kemudian di daerah Sindangwangi disebutkan data kemiskinan tertinggi di Balagedog, setelah dicek lagi warga di desa tersebut justru sangat produktif dengan usaha mikro membuat anyaman dan kerajinan rotan dan rumah-rumah warga di sana mayoritas standar layak. “Jadi kalau kita disodori data yang katanya angka kemiskinan saat ini masih di 12-13 persen (dari jumlah penduduk), saya tidak langsung mempercayai itu. Justru saya meyakini kalau angka kemiskinan di Majalengka ini  sudah berada di bawah 10 persen, dengan melihat langsung kondisi di lapangan,” ujarnya. (azs)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: